Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar bahasa kehidupan

Obituari: Mbah Soetahar dalam Ingatan Saya

Diperbarui: 6 Agustus 2021   01:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

"Dan Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia sebelum engkau (Muhammad); maka jika engkau wafat, apakah mereka akan kekal?" Q. S. Al-Anbiya: 34. 

Kabar duka kembali menyelimuti segenap sivitas akademika Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (UIN SATU). Rabu, 04 Agustus 2021, Bapak Soetahar, M. A. (red; Mbah Soetahar) menutup usia. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.

Kabar kembalinya Mbah Soetahar ke haribaan yang Maha Kuasa itu dibenarkan dengan tersebarnya flayer; baik di story WhatsApp, di grup WhatsApp organisasi dan kanal media sosial keluarga besar sivitas akademika UIN SATU. 

Tidak hanya itu, bahkan sebagian orang yang tergolong pernah dekat dan akrab dengan almarhum Mbah Soetahar juga turut memposting foto momentum kebersamaan dengan beliau sembari mengimbuhkan do'a dan kalimat duka cita yang mendalam.

Selain mengabdikan diri sebagai seorang dosen, Mbah Soetahar juga merupakan pendiri SP IAI Singoleksono yang kini bertransformasi nama menjadi UIN SATU. Atas dasar fakta itu pula, popularitas beliau di kampus dikenal sebagai dosen yang paling sepuh sekaligus legenda hidup.

Sejauh yang saya ketahui, beliau adalah pribadi yang murah senyum, selalu tampil rapi, disiplin dan humoris. Tatkala masih sering wira-wiri dan duduk di bangku strata satu, sempat beberapa kali saya berpapasan dan menyapa beliau, lantas beliau membalas dengan senyumannya yang khas.

Senyumannya yang khas tersebut juga kerap mewarnai riuh aktivitas perkuliahan, lebih tepatnya tumpah ruah di setiap awal pertemuan kuliah. Tatkala duduk di semester empat, kebetulan beliau sempat mengampu mata kuliah PPKN di kelas saya. 

Perkuliahan dengan beliau pada kenyataannya tidak hanya berhenti sampai di sana, di semester lima, kelas saya kembali dipertemukan dengan beliau melalui mata kuliah Antropologi Lokal.

Sebagai salah satu muridnya, saya selalu mengamati dan berusaha membuat simpulan diri, bahwa senyumnya yang khas itu adalah senjata pamungkas yang secara pasti beliau jamukan kepada setiap orang yang ditemui. 

Masih dalam rentang waktu yang sama, saya juga berani menegaskan bahwa beliau adalah sosok yang selalu tampil rapi. Kerapian itu dapat dilihat dari kebiasaan beliau yang gemar membawa sisir kecil di saku celana, menggunakan sepatu pentofel mengkilap dan kerap mengenakan kemeja. Kemeja berlengan panjang lebih tepatnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline