Bagian 1: Bukan Pemalakan Biasa
Tepat Sabtu, 3 Juli 2021 saya mendapati buku terbaru Kang Eka Kurniawan telah nangkring di status WhatsApp salah seorang teman. "Akhirnya tanda tangan idola berada di genggaman", demikian cuit status itu membumbui cover buku dengan judul "Sumur" yang terpampang dalam postingan teman saya (selanjutnya sebut saja Kak Ina).
Mendapati hal itu, tangan saya lantas gatal untuk merajut iba dan kecemburuan. "Curang. Aku kok enggak dibelikan si Kak?", saya mengomentari story WhatsApp Kak Ina. Lagian kenapa Kak Ina yang lebih dulu memilikinya? Padahal jauh-jauh hari saya sempat kepincut melihat postingan buku tersebut langsung di beranda Facebook penulisnya, Eka Kurniawan.
Tatkala itu, terbersit rasa ingin meminangnya namun belum saja kesampaian. Satu keinginan yang berdiri tegak di atas isian dompet yang melulu merasa kehausan. Seakan-akan rasa ingin itu telah lebih dulu tahu diri dengan menaruh rasa iba sebelum pikiran saya benar-benar mengambil satu keputusan. Kehalusan rasa ingin itu telah lebih dulu mengharu biru mengendus ketandusan dahaga yang terus meronta-ronta.
Lantas, komentar kecemburuan tersebut terus berlanjut hingga akhirnya berhasil memojokkan Kak Ina sebagai korban pemalakan saya. Tentu, soal mojok-memojokkan dan pemalakan itu sebenarnya tidak disengaja, bahkan rasa-rasanya bukan bakat saya. Tapi, entah kenapa, isi chatting saya malam itu mengarah ke sana dan berhasil meluluhkan rasa Iba Kak Ina untuk membelikan karya terbaru dari Kang Eka.
Awalnya kealotan proses chatting itu begitu terasa. Seperti kasus pada umumnya, perempuan selalu ingin ditraktir oleh lelaki kenalannya, entah teman, sahabat, atau gebetannya. Sementara relasi kita dalam kasus ini sebagai teman semata. Namun, keluluhan itu tampak di depan mata tatkala penegasan saya layangkan kepadanya. "Kenapa si perempuan itu maunya ditraktir terus? Sekali-kali nraktir (bayarin) kan tidak apa-apa", balas chat saya kepadanya.
Tujuh menit berselang Kak Ina dan saya lebih intensif saling berbalas chat. Kak Ina menjawab, "iya si benar enggak apa-apa." Dua menit selanjutnya ia menambah chat, "alamat mana?". "Untuk?", saya membalas chatnya. "Katanya mau buku", sambung Kak Ina satu menit kemudian. "Sebentar", tulis saya. "Tunggu sampai lima menit kalau enggak hangus ", respon Kak Ina.
Secepat kilat menyambar, saya langsung meneruskan chat yang memuat alamat-yang pernah saya kirimkan saat memesan kitab Misykat al-Anwar dan buku Manusia Rohani Meditasi-meditasi Ibnu'Atha'illah-kepada Kak Ina. "Kalau ini saja gercep", tukas Kak Ina.
Detik berganti menit, chatting pun berlanjut dengan memastikan provinsi, mengirimkan bukti pembelian dan pengiriman. Waktu itu saya lihat pengiriman barang menggunakan jasa SiCepat Reguler. Dan ternyata, Kak Ina benar-benar mengirimkan buku gratisan. Padahal awalnya saya hanya guyon, akan tetapi pada kenyataannya bakat terpendam saya sebagai tukang palak itu benar-benar menghasilkan.
Entah darimana bakat premanisme itu datangnya. Apakah itu warisan dari para leluhur, karib kerabat, tetangga atau mungkin hasil daripada persilangan pergaulan yang kawin-mawin tanpa sepengetahuan saya. Atau mungkin tertuai dari pengetahuan saya yang cekak.
Namun karena itu pula saya malah berpikir; Apakah saya memang harus meneruskan (mengasah) bakat malak ini? Atau memang menjadi tukang palak adalah jalan ninja saya untuk mendapatkan buku gratisan? Ah, lagian siapa coba yang mau menolak buku gratisan? Sungkan, tapi menolak rezeki yang datang ke hadapan itu bukan tabiat yang sengaja dalam diri saya selipkan.