Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Antara Ketamakan dan Memurnikan Kembali Silaturahmi sebagai Ladang Kebaikan

Diperbarui: 22 Juni 2021   15:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Dokumentasi pribadi

Tulisan ini melanjutkan pembahasan pada unggahan sebelumnya tentang Syukur di Balik Kerapuhan Rasa dan Psikis di Hari Raya.

Bagian 7:

***

Selain pertanyaan yang bernada body shaming dan yang memiliki kecenderungan memicu hadirnya hasut, dengki dan namimah, ada pula jenis pertanyaan yang secara vulgar menunjukkan sisi tamak manusia. Kita ambil saja butir pertanyaan yang ada dalam benak sebagian di antara kita itu dari contoh yang telah dipaparkan di atas; "Masa iya si... sudah nikah tapi kok masih nebeng mertua? Kapan mau punya rumah sendiri? Masih naik motor saja, mobilnya kemana tuh? Wah, bajunya bagus nih, habis ngutang di mana si?". 

Upaya tajassus itu terus saja kita gencarkan terhadap seseorang yang dianggap layak untuk dijadikan korban kebrutalan rasa penasaran kita. Pertanyaan demi pertanyaan yang kita sodorkan terhadap orang lain itu ibarat nafsu yang tidak ada ujungnya. Jikapun pertanyaan itu terus berhamburan keluar dari mulut bar-bar kita maka di sana pula tidak ada jawaban yang benar-benar mengena dan berhasil memuaskan diri penanya. Setumpuk alasan yang orang lain sampaikan itu kita anggap bualan belaka, sebab kebenaran sejati adalah segala apa yang kita terka. Entahlah, entah telah sebebal apa kita di sana?

Yang harus kita catat sekarang, contoh butir pertanyaan tersebut dengan jelas memberikan satu gambaran umum kepada kita, bahwa salah satu hal yang menjadi sorotan dan kesan pertama tatkala bersilaturahim pasca lebaran Idulfitri adalah tentang bagaimana penampilan dan aksesoris yang melekat dalam kujur awak dan yang ditunggangi kita. Seakan-akan bungkus lebih berarti dari ketulusan niat dan tujuan mulia yang ingin dicapai. 

Bahkan lebih dari itu, alih-alih kita hendak anjang sana dengan maksud menjadikan silaturrahim sebagai media menyambung obor kehidupan kekeluargaan terkadang yang terjadi justru sebaliknya, menjadi ajang perbandingan dalam skala kepemilikan harta. Sadar ataupun tidak, di sanalah kita berusaha memposisikan derajat diri seseorang sesuai standaritas materi yang tampak di depan mata. Seakan-akan hal itu cukup untuk menyebutkan dan mendefinisikan seseorang berhak mendapatkan penghormatan tertinggi dan perlakuan istimewa dari kita. 

Padahal penghormatan yang diberikan oleh khalayak ramai terhadap seseorang yang bertumpu pada kadaritas kepemilikan harta hanya semata-mata istimewa dalam pandangan manusia.  Satu tipu daya yang dapat melenakan tuannya. Biang kerok daripada berkeliarannya sikap jumawa, insrof dan tak mau menghamba. Dalam pandangan Islam bahkan dikatakan, siapapun yang menghormati seseorang karena kekayaan hartanya maka sesungguhnya telah hilang dua pertiga agamanya. Hal ini berdasarkan hadis marfu' yang diriwayatkan Al-Baihaqi sebagai berikut:

   Artinya: "Dan barangsiapa merasa rendah di hadapan orang kaya karena kekayaannya sungguh orang itu telah lenyap atau hilang dua pertiga agamanya".

Secara eksplisit kandungan hadis tersebut hendak menegaskan bahwa merasa rendah diri terhadap orang kaya semata-mata karena kekayaannya tidak lain bukanlah akhlak terpuji. Sebab seharusnya kita menghormati orang lain bukan atas dasar kadaritas kepemilikan harta, melainkan karena amal kebaikannya. Amal kebaikan seperti ketakwaannya kepada Allah SWT, akhlak terpuji yang melekat dan dilanggengkan oleh dirinya, serta lain sebagainya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline