Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar bahasa kehidupan

Mengganyang Literasi sebagai Proses Menjadi dan Ladang Kebaikan

Diperbarui: 1 Juni 2021   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Dokumentasi pribadi

"Intelektual tanpa keterlibatan diri dan penalarannya sendiri adalah intelektual blanko", Pramoedya Ananta Toer (1981).

Ada banyak jalan untuk menebar kebaikan. Salah satu di antaranya ialah dengan jalan memanfaatkan kemampuan menulis yang telah kita asah bertahun-tahun lamanya. Dari tertatih, merangkak, memapah hingga kita berlari; piawai mengelola setiap koleksi dan memilah kata serta mengendalikan goresan pena.

Proses itu tentu berjalan lumayan cukup lama. Mulai dari tanam kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas bahkan sampai kita menyandang gelar sarjana dari salah satu perguruan tinggi. Semua jenjang pendidikan itu banyak menempa kebebalan kita dalam urusan menulis dan membaca.

Proses yang tersistematisasi dalam dunia pendidikan itu tentu tidak hanya sibuk menempa, melainkan dituntut pula untuk merealisasikannya. Upaya itu tampak tatkala  sesekali kita disuruh untuk menuangkan ide dan fantasi kegilaan yang ada di dalam kepala melalui tugas mengarang atau sekadar menuliskan catatan harian.

Hal itu pun kita lakukan hanya karena tuntutan iming-iming nilai semata. Belum berani bermimpi-bahkan belum ada mimpi-untuk menjadi seorang penulis karena belum terkontaminasi oleh virus yang dibawa Tere Liye, Buya Hamka, Asma Nadia, Dee Lestari, Karen Armstrong dan tokoh lainnya.

Dalam sistem pendidikan yang sedemikian rupa kita tumbuh, namun setelah itu tampaknya kita memang belum benar-benar sadar dengan tujuan mulia dari pendidikan itu sendiri. Yang kita tahu, proses pendidikan itu berujung pada pragmatisme kebudayaan materialis yang penuh gengsi. 

Bahkan, pola pikir dan cara pandang yang melulu sama itu terus-menerus dipelihara. Hingga sampailah kita pada satu simpulan persepsi bahwa kebudayaan literasi yang digencarkan dalam institusi itu tidak lain dibentuk sebagai bumbu penyedap untuk berlomba-lomba semata.

Berlomba-lomba dalam hal apa? Dalam varian standarisasi yang kita sebut ambang batas keberhasilan, kesuksesan dan kebahagiaan. Untuk mencapai titik tujuan itulah pendidikan digalakkan. Lah... ruang lingkupnya? Cara kerjanya dimulai dari menata setiap langkah personal, yang diproyeksikan akan berdampak pula pada tataran komunal hingga akhirnya berhasil membentuk satu kemapanan yang diamini bersama.

Dari gambaran tersebut sekarang kita bisa merenungkan; berapa tahun lamanya kita mengenyam pendidikan untuk bisa menulis dan membaca. Telah berapa lamakah kita mengandalkan kemampuan menulis dan membaca guna meningkatkan wawasan pengetahuan? Telah berapa lamakah kita menggenggam keyakinan bahwa hanya dengan berproses dalam dunia pendidikan kehidupan kita akan berubah drastis?

Masing-masing kita tentu mampu menjawab semua pertanyaan itu dengan mudah meskipun hanya sebatas gumam dalam hati. Bahkan kehadiran persepsi atas proses itu menjelma sebagai keyakinan yang diwariskan secara turun-temurun. Iya apa tidak? Semua itu terus berjalan mengitari asumsi yang kian fasih diucapkan oleh kedua orangtua kita; "Sebentar lagi anakku akan segera menjadi pegawai negeri sipil (PNS) karena telah menjadi sarjana".

Menyikapi hal itu, sebagian orang ada yang menafsirkan ucapan itu adalah do'a. Sementara sebagian lainnya, memaknai itu sebagai jalan terjal yang harus (red; wajib hukumnya) ditempuh. Bagaimanapun memiliki pekerjaan sebagai seorang PNS (sekarang; Aparatur Sipil Negera atau ASN) itu lebih mulia dari pekerjaan apapun. Hidupnya terjamin; baik itu saat masih kerja ataupun nanti di kala menikmati senja di masa tua.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline