"Larangan mudik lebaran itu pada akhirnya menggiring kita pada jurang yang terus menganga; kerapuhan rasa dan psikis di hari raya. Semoga saja itu tidak turut mereduksi maknanya", Dewar Alhafiz.
Setelah sekian lama menghelat lebaran di tanah kelahiran, akhirnya saya mencicipi juga lebaran di tanah orang. Ini adalah tahun pertama saya lebaran Idulfitri di Tulungagung. Salah satu kabupaten di Jawa Timur yang telah berikhlas hati menampung seluruh aktivitas saya kurang lebih selama tujuh tahun. Bahkan tepat di tahun ini, lamanya akan genap menjadi delapan tahun.
Lebaran Idulfitri di tanah rantauan itu memang memberi kesan yang berbeda sekaligus menyisakan kecamuk rasa yang lumayan menyesakan dada. Kesesakan dada itu tidak lain dipicu oleh kontradiktif rasa yang bergejolak dalam waktu yang sama. Antara haru, sedih dan bahagia hadir meliputi kujur awak yang dalam waktu sebulan telah ditempa. Alhasil, di hari kemenangan tahun ini hanya kerapuhan rasa dan psikis yang tersisa.
Tekanan psikis dan kerapuhan rasa itu sendiri timbul karena bersandar pada penghayatan penuh atas tradisi lebaran Idulfitri di tahun-tahun sebelumnya. Tradisi berkumpul bersama dengan keluarga besar dipersepsikan akut sebagai sakralitas kefitrian hari raya yang wajib adanya. Satu tradisi yang telah lama langgeng mengerak di dalam kepala.
Ketidakmampuan merasakan euforia kemenangan Ramadan berada di tengah-tengah keluarga tercinta itu menjadikan saya merasa berdosa. Membuat dosa baru tepat di hari raya. Dan ini adalah salah satu hal yang belum pernah saya lakukan pada tahun-tahun sebelumnya.
Maklum saja, status saya dari dulu hingga sekarang tetap sama: "anak mamak". Perubahannya hanya sekadar pertautan usia, selebihnya hanya persoalan status anak rumahan yang beranjak menjadi anak kos-kosan yang tak kunjung "mapan". Jadi tidak heran jikalau diri saya melulu diluput kerinduan.
Kekalutan dan kepiluan rasa itu hampir saja genap disempurnakan dengan berondong pertanyaan yang dilontarkan oleh beberapa teman terdekat saya. "Mau mudik kapan mas? Lek mudik naik opo mas? Bukanne stasiun tutupe tanggal 6 Mei ya? Lah nyapo ra mudik mas? Piye bang rasane lebaran di Tulungagung? Lebaran Idulfitri jauh dari keluarga itu rasane amazing, kan?". Kurang lebih demikian pertanyaan itu memaksa masuk ke dalam kedua gendang telinga saya.
Lantas saya berusaha membuat jawaban yang logis. Mulai dari belum berakhirnya masa mengerjakan pekerjaan, dilarangnya mudik oleh pemerintah sampai dengan kekhawatiran akut saya untuk nekat mudik dengan mengendarai sepeda motor sendirian. Terlebih jika mengingat, saya belum pernah mudik mengendarai sepeda motor sendirian. Pernah mudik dengan mengendarai sepeda motor, itu pun secara bersamaan. Kalau mudik naik kereta sendirian? Ya sering. Kalau hidup sendirian? Ya sampai sekarang. Hiks. Sudahlah tidak usah wafer. Eh, baper.
Lagian, jikalau memang saya bersikeras 'ngotot' mudik setelah pelarangan, takutnya nanti setelah seperempat ataupun setengah perjalanan disuruh putar balik. Kalau saya telanjur baper dan mewek di sepanjang jalan kan repot jadinya.
Maklum saja, waktu itu saya belum paham dengan trik sengaja memutarbalikkan arah tujuan, sehingga mendapatkan rekomendasi surat perjalanan dari pihak kepolisian yang jaga di jalur lalu-lalang arah mudik. Atau malah belajar berbohong dengan dalih hendak berwisata, waktu itu pun tidak sempat kepikiran.