Sungguh anugerah yang tak terperikan, syukur alhamdulilah tadi pagi saya masih diberi kesempatan; kemampuan dan kekuatan untuk menunaikan salat Idulfitri di masjid. Masjid yang letaknya memang tidak jauh dari kosan saya. Lebih tepatnya, kurang lebih sekitar 50 meteran saya harus berjalan kaki untuk menuju ke masjid itu.
Bernamakan at-Taqwa orang-orang menyebutkan masjid itu. Masjid yang memang dalam skala ukuran masih dapat dikategorikan kecil namun keberadaannya sangat dielu-elukan oleh warga setempat. Lantas tidak heran jika di setiap perayaan hari besar Islam masjid selalu padat oleh jamaah yang silih berdesak bahkan tumpah ruah hingga ke pelataran.
Begitupun pada perhelatan salat Idulfitri di pagi hari ini, keadaan padat itu sangat tampak jelas tidak dapat dipungkiri. Hal itu kentara dari digelarnya karpet hijau di pelataran masjid guna mengantisipasi jamaah yang membludak.
Selain ukurannya yang terbilang kecil dan menjadi pusar dalam menimba dahaga spiritualitas setiap warga setempat, sisi lain yang saya suka dari masjid At-Taqwa itu ialah adanya upaya pelestarian tradisi takiran.
Istilah takiran sendiri berakar kata dari takir, yang kemudian ditambahi akhiran -an. Secara esensial, takir merupakan singkatan dari gabungan dua kata; takwa dan zikir. Dua sarana yang dipandang sebagai wadah amal seorang hamba dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar dan fastabiqul khairat (Rizki Amalia R., 2020: 6).
Sedangkan secara simbolik, takir diartikan sebagai wadah yang terbuat dari daun pisang yang direkatkan kedua sisinya dengan menggunakan lidi. Selain memiliki konotasi yang mencerminkan kesederhanaan, kreativitas dan pelanggengan tradisi lokal warisan leluhur, pada kenyataannya takir juga memiliki pemaknaan secara filosofis.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, takir berasal dari kata "nata" karo "mikir" (menata dan berpikir), yang berarti selaiknya dalam menjalani kehidupan yang berkesinambungan harus senantiasa melangkahkan kaki berdasarkan pertimbangan akal pikiran dan nurani kemanusiaan. Sehingga sikap yang tampak di dalam diri adalah waspada, penuh penghayatan, karsa dan penuh kelapangan atas hasil yang hendak didapatkan, (dikutip dari www.campursari.ngawikab.id).
Makna filosofis takir dalam pandangan masyarakat Jawa ini tidak jauh berbeda dengan konsep dasar cara hidup masyarakat Sunda yang memandang hidup memang harus dijalankan sedemikian hati-hati, harmonis dan penuh kematangan. Hal itu tercerminkan dengan nasihat hirup di dunya teh kudu ngagembol tur laer aisan (hidup di dunia itu harus banyak bekal dan penuh kematangan).
Dalam perkembangannya, dari waktu ke waktu wujud takiran ini sudah mengalami modifikasi dan modernisasi, sehingga jika dahulu bentuk fisik yang semula hanya mengandalkan dan mempertahankan bahan dasar dari alam, maka sekarang lebih praktis lagi. Wadah daun itu telah berganti steropom, besek plastik dan lain sebagainya.
Tidak ada aturan baku ataupun khusus untuk isian dalam takiran itu sendiri. Yang jelas masyarakat senantiasa mengisi setiap takiran yang mereka tenteng dari rumah masing-masing dengan penuh perasaan, kelayakan dan keumuman yang ada. Misalnya saja, takiran itu berisikan nasi, sayur dan lauk pauk. Kehadiran nasi seakan-akan wajib adanya, sementara sayur dan lauk pauk tidak ada batas dan patokannya.
Sayur bisa saja tidak tersuguh di kotak nasi kita, dan lauk pauk itu wujudnya seperti tempe, tahu, telur bahkan daging. Biasanya menu itu dilengkapi dengan kerupuk. Tapi tidak mesti adanya.