"Jangan banyak mencari banyak, carilah berkah. Banyak bisa didapat hanya dengan meminta. Tapi memberi akan mendatangkan berkah", Ahmad Mustofa Bisri.
Hampir setiap manusia mempersepsikan keberlangsungan hidup hanya bergantung pada banyaknya harta. Entah itu harta dalam bentuk uang, logam mulia, aset, kendaraan dan investasi lainnya. Sebagai puncaknya, spontanitas muncullah satu simpulan bulat dalam benak kita, bahwa sangatlah tidak mungkin dalam menjalankan kehidupannya manusia mampu tegak tanpa menggenggam harta.
Menyikapi persoalan itu, sekelompok orang menyebut kebergantungan atas hadirnya materiil ini dengan materialisme. Sementara kelompok responsif menyebutnya dengan tegas bercampur harap-harap cemas, bahwa hidup memang harus realistis. Hidup tidak akan pernah benar-benar hidup jika terus disuguhi dengan janji. Bagaimanapun janji itu adalah utang yang mungkin saja dilupakan atau malah dengan sengaja diingakari.
Meski demikian, keterkaitan antara manusia, materiil dan hidup adalah wacana lama yang tidak pernah berlabuh di satu dermaga. Sehingga permasalahannya selalu memerlukan pendekatan dan ikhtiar runtutan cara pandang yang benar-benar dengan jelas diangkat ke muka.
Analoginya, manusia dan harta ibarat dua sisi mata koin yang selalu berjalan beriringan. Alhasil, adakalanya manusia tampil apa adanya sebagai seorang manusia sesungguhnya dan terkadang ia dikendalikan hasratnya yang gila harta. Namun sisi mana yang paling dominan tampil dari diri manusia, itulah sudut pandang yang umumnya kerap digunakan oleh khalayak dalam mendefinisikan, mendesain pola dan menentukan standaritas hidup serta nilai-nilai kebiasaan yang menjadikan di antara sesama manusia begitu segan dan kaku dalam menjerat makna hidup masing-masing kita.
Tatkala manusia tampil apa adanya sebagai seorang manusia sesungguhnya ia tanpa sungkan menunjukkan kemurahan hati dan kesederhanaannya. Manusia bergerak tanpa pamrih maupun embel-embel segala modus yang terselip dalam hatinya, tanpa motif yang terlintas dalam pikirannya.
Kondisi psikis dan fisik sangat tidak lagi bergantung pada kadarnya harta yang tumpah ruah. Yang ia tahu, sedikit banyak akan tetap disyukurinya. Ia tahu betul, tugas utama dalam menyikapi segala gundah gulana dan onak hidup hanya dapat dilewati dengan mata terbuka dan sikap mau menerima. Syukur adalah kunci utama, sementara qona'ah pintu masuknya.
Hingga akhirnya sebagai manusia, ia sadar, bahwa hidup saja adalah rezeki. Rezeki yang jika dihitung satuannya maka manusia akan kelabakan dirundung malu bukan kepalang tak ada habisnya. Bagaimana mungkin coba? Menghirup oksigen yang gratis ini akan menjadi sangat begitu mahal bagi segelintir orang yang sakit paru-parunya sudah akut stadium lima. Bagaimana mungkin coba? Panca indera kita yang normalnya masih saja sempurna tidak pernah kita sebutkan sebagai rezeki dari-Nya? Padahal karena kenormalan itulah kita bisa mencapai rezeki lain di luar diri kita.
Bukankah keselamatan diri kita dari satu musibah adalah rezeki? Bukankah adanya orang lain yang meminjamkan uang tatkala kita benar-benar dalam keadaan yang membutuhkan adalah rezeki? Memiliki teman yang banyak dan memahami bagaimana keadaan kita setiap waktu sehingga ia mencurahkan perhatian dan kasih sayang di kala kita terpuruk, bukankah itu rezeki?
Ah, terlalu banyak rezeki yang terbenam di dalam diri manusia. Akan tetapi hanya manusianya saja yang tidak pandai bersyukur dan benar-benar naif dalam memahami keberadaannya. Rezeki itu segala apa yang telah kita cerna. Sesuatu yang telah diambil kemanfaatannya oleh kita, sehingga menjadi tenaga untuk menjalankan kebaikan. Sementara apa yang ada dalam genggaman tangan kita belum tentu itu adalah rezeki kita, bisa jadi itu adalah hak orang lain yang dititipkan dan belum sampai kepadanya.