"Utang ya disaur bukan malah berkelit. Gitu aja kok repot", Dewar Alhafiz.
Terhitung sejak berganti nama dan beralih ruang grup WhatsApp -dari Komunitas menulis menjadi Sahabat Pena Kita Tulungagung- pekik takbir literasi belum saja sampai di ujung ubun dan menjelma jiwa bagi para penghuni di dalamnya. Tak terkecuali saya pribadi yang banyak mencekal lengan ide dengan sengaja.
Sering memilih menunda kesempatan untuk menuangkan ide yang muncul, belum mampu istakamah dalam menulis Sunnah bahkan sekadar untuk menggugurkan kewajiban saja lebih banyak berkelit dalam segunung alasan kesibukan, alhasil mengutang pun adalah pilihan.
Tapi masalahnya, sejak kapan mengutang itu menjadi pilihan? Sejak kapan mengutang itu diperbolehkan? Apakah lapak obral utang itu mulai dijajakan di kala masing-masing kita memilih untuk bergabung menjadi bagian dari grup WhatsApp Sahabat Pena Kita Tulungagung?
Apakah kewajiban menulis itu benar-benar telah berikhlas hati mana kala mayoritas memilih untuk menduakan? menunda mengerjakan. Atau memang kita telanjur asyik melatah diri atas tiap-tiap tugas dan kewajiban. Seperti halnya kebiasaan khilaf kita yang doyan ngutang di warung langganan.
Ah, sialnya kebiasaan ngutang itu terbawa-bawa sekaligus diaplikasikan pula dalam segala aspek nyata dari kehidupan kita, tak terkecuali dalam hal urusan belajar menulis. Belajar menulis saja bisa diutang, apalagi yang tidak pernah belajar. Lah halah, jika masih bisa utang kenapa harus tepat waktu dalam setor tulisan?
Jika masih ada hari esok kenapa harus dikerjakan sekarang? Jika, kalau dan seabrek pernyataan apologi lain yang menjadikan kita terbiasa membenarkan keengganan untuk berusaha keras dalam menggembleng diri tak ubahnya toxic thinking yang harus kita hindari. Buanglah hal itu jauh-jauh dari dalam diri.
Mulai sekarang janganlah melulu menjadikan akal pikiran sebagai tipu muslihat dan biang kerok daripada kebebalan kita bertamasya di zona nyaman. Bukankah menalar apa-apa yang bersifat positif untuk kemajuan diri lebih baik? Bahkan cara berpikir kita yang positif mampu menghasilkan ucapan, tindakan dan keputusan yang lebih baik. Mampu mengerjakan tugas yang begitu sulit dalam keadaan riang, ringan dan merasa nyaman tanpa beban.
Sampai di sini saya terhentak, seakan jiwa dan raga terpisah sesaat; lah, tampaknya memang benar, jangan-jangan yang selama ini menjadi benteng utama kenapa kita selalu memilih membiasakan berutang itu dilatarbelakangi oleh cara berpikir yang tidak sehat (toxic thinking).
Toxic thinking itu selanjutnya mencekal, mengalihkan bahkan menggugurkan setiap niatan baik yang hendak kita lakukan. Benteng itulah yang ada di dalam setiap pribadi kita. Benteng yang keberadaannya luput dari kesadaran dan evaluasi sehingga setiap waktu kita mengokohkannya dengan sejubel alasan ini dan itu.