Segala sesuatu membutuhkan proses, termasuk pula untuk mencapai satu keadaan ideal yang kerap disebut dengan istilah sukses. Sukses senantiasa dipersepsikan sebagai target, tujuan dan pusar dari sekian banyak alasan kenapa orang harus bekerja keras.
Bekerja dengan giat, disiplin dan bertanggungjawab dipandang sebagai jalan untuk mencapai keadaan sukses. Entah itu, sukses dalam segi karier, rekam jejak kehidupan dan upaya meningkatkan kualitas hidup.
Namun yang menjadi pertimbangan utama selanjutnya ialah ketidakmampuan istilah sukses itu hadir tanpa adanya sandaran, mandiri. Katakanlah istilah sukses di sini memiliki posisi pakem sebagai predikat dari berbagai subjek yang menjadi sandaran atau biang dari adanya pembicaraan.
Atas dasar demikian, maka runtutan itu senantiasa menunjukkan adanya hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang benar-benar harus logis dan sistematis dalam pandangan manusia.
Tentu dalam konteks ini keadaan-keadaan yang tak pernah mampu terjangkau oleh nalar kewajaran manusia, senantiasa bersifat teologis. Sebutkanlah itu dengan istilah vernum jika kita meminjam bahasa Immanuel Kant.
Jika saya amati secara serampangan, kehadiran vernum itu sebagian besar senantiasa bertolakbelakang dengan cara kerja rasio manusia (di luar nalar). Di mana vernum bagian sisi suci yang terletak di alam bawah sadar manusia. Satu sisi yang senantiasa mengarahkan manusia pada keadaan mulia dan kebaikan yang ditandai oleh tindakan positif.
Secara kasat mata, vernum itu ditandai oleh adanya tatanan etika, kecenderungan spiritual manusia dan bisik nurani yang membimbing manusia pada "kebenaran" meski tanpa adanya pengaruh dari faktor-faktor eksternal di lingkungan sekitarnya. Kebenaran given yang tidak dapat dibantah dan dibendung begitu saja.
Pada kenyataannya hal itu dibuktikan dengan adanya rasa menyesal dan mengganjal tatkala kita melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan kehendak nurani, melawan kecenderungan spiritual dan kehendak tindakan yang berlandaskan pada kepri-manusiaan. Tanpa pengadilan dan penghakiman yang dilakukan oleh orang lain pun diri kita sendiri terkadang lebih sering merasakannya langsung.
Dalam konteks ini proses dalam penyelerasan dan kepekaan terhadap vernum ini menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan standaritas kesuksesan masing-masing personal. Meskipun di satu pihak tidak dapat dipungkiri pula, kesuksesan telanjur didefinisikan oleh stigmasi dan asumsi kolektif konstruksi sosial yang disebut idealitas.
Idealitas kesuksesan personal yang sebenarnya tegak di atas bayang-bayang ketakutan akan sanksi sosial dan budaya yang sengaja dibentuk oleh asumsi kesuksesan masyarakat lokal itu sendiri dan kondisi zaman.
Karen Armstrong dalam bukunya The Field of Blood menyebutkan bahwa manusia sebelum benar-benar mencapai titik ideal suksesnya di masa sekarang (milenium), manusia telah banyak melalui proses panjang pembentukan.