Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Antara Hujan, Geografis, dan Tipologi

Diperbarui: 29 September 2020   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagian orang menyebutkan, saat turun hujan sedang benar-benar membabi buta, intensitas curah air yang dapat kita rasakan itu hanya dua puluh persen belaka, sisanya adalah kenangan semata. 

Entah premis itu benar ataupun tidak, sebagian besar dari manusia lebih memilih diam seribu kata. Toh, di kala hujan lebat itu turun, manusia lebih sibuk mengurusi diri dan mengamankan barang-barang kepemilikannya dari ciprat tetesan hujan. Iya apa tidak?

Mari kita buktikan. Orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya, entah itu mereka yang berjalan kaki maupun mengendarai motor-mobil pasti sesegera mungkin memutuskan diri mencari tempat nyaman untuk melindungi diri.

Mereka, pejalan kaki mendadak terkaget-kaget hingga sampai hati melesat jauh berlari karena hendak mengiupkan diri. Sementara pengendara motor dan mobil berada dalam persimpangan jalan keputusan. Antara menginjak tuas gas, meminggirkan kendaraannya dan mengenakan jas hujan sebagai tameng rahasia ampuhnya.

Hiruk-pikuk ruas-ruas jalanan di perkotaan akan nampak acakadut di kala hujan mengguyur permukaannya. Transportasi pun akhirnya tersendat. Lalu lalang varian kendaraan roda dua dan empat hampir melambat. 

Sementara banjir langganan menjadi alasan akurat untuk masuk ke kantor terlambat. Itu pun tidak satu-dua kali, melainkan berhari-hari hingga tak terhitung lagi berapa banyak hari yang telah tercuri. 

Padahal, khalayak ramai sering nyerocos di jagat maya, betapa pentingnya waktu untuk mengeruk materi. Nyerocosnya mungkin akan persis sama dengan ibu-ibu yang lupa mengangkat jemuran di kala sedang sibuk memainkan jemarinya di layar gawai milik pribadi.

Ceritanya si, mereka telanjur asyik sedang stalking Oppa-oppa unyu yang digemari anak-anak remajanya itu yang ingin dipersunting sebagai isteri. Tapi entahlah, entah itu benar atau sekadar kabar angin belaka. Ah, sudahlah jangan menyebar hoaks di tengah gemericik hujan yang sedang asyik menari.

Entah mengapa, saya lebih suka menyebutkan lebat curah hujan itu sebagai saksi. Saksi mata atas kerasnya realitas kehidupan sosial. Hampir timpang namun keadaan itu luput dari perhatian. 

Lantas apa yang timpang dan luput dari cengkeram perhatian? Ada persepsi umum, mereka yang berdasi bisa riang mengukir gelak tawa di wajah tatkala gemuruh hujan menyentuh atap kantor.

Sedangkan para pekerja kasar dan serabutan, masih saja tidak menghiraukan keadaan apa yang sedang menerjang dirinya. Toh, pada kenyataannya terik panas dan curah hujan itu tidak pernah mampu membeli keroncong perutnya. Tak pernah mampu menyukupi kebutuhan pokok hidup keluarganya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline