Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar bahasa kehidupan

Cermin Itu

Diperbarui: 19 September 2020   06:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kutatap lekat-lekat sisi gelap yang bersemayam dalam benak
Kutenggelamkan hati dan pikiran meliputi alam bawah sadar
Tepat di ulu penyesalan masa lalu itu
Kuhakimi temaram bayang-bayang dalam sepi

Pun kutemukan jeritan kecil menyayat hati
Hendak kucaci namun kegetiran rasa mengancamku
Hendak kuusir jauh-jauh tapi itu bagian nadirku
Anak kandung dari biungku
Tulang rusuk yang telah lama hilang dari tubuhku

Lantas aku mengadu
Merangkul jemari menjadi satu
Menenun kegagalan hidup pada pelupuk mata senja di hari Rabu
Dan aku tertunduk malu
Sementara kewarasanku setengah menjadi hantu

Banyak pasang mata yang mula-mula merasa pilu
Dalam keheningan mereka mengidamkan merengkuh lentik jemariku
Menyisir laten kepudaran rambut hitamku
Namun lambat-laun mereka sibuk menghardik kehadiranku
Mencemooh setiap ketidakmampuan menenteng ini-itu

Dan karenanya hampir-hampir putus asa merampas nyawaku
Sempurna sudah riwayat panjang kehinaanku
Cukup sudah nirwana malu kujadikan tameng dalam benalu

Tapi tak apa, biarkan aku bersimpuh di gerbang kerjaan penguasa takdirku
Berkali-kali telah kuniatkan untuk tuntas tersapu
Meski keadaannya tetap berkubang dalam sayu
Simetris dengan gelagat kemanusianku yang gemar menipu

Beribu-ribu bangsa berhasil kubungkam dengan isian saku
Kolusi, korupsi dan nepotisme adalah jiwa yang kuburu
Tempurung zaman yang serba menebar satru
Krisis rasionalitas yang kian tampak abu-abu

Tetap saja begitu,
Semuanya sibuk berwajah dua sembari diam-diam berselingkuh dengan air mata dan tisu
Segala-galanya melecehkan keyakinanku
Memerkosa serial kehendak fase kehidupanku

Sementara aku bergeming menopang dagu
Berbagi cerita pada kepulan asap, desir angin dan karma cacian balu
Tak mampu,
Sungguh tak berdaya tubuh ini di depan kelemahanku
Tak berhasrat mengulik dalam bahasa kemaluanku

Sememangnya sekarang harus engkau menahu
Bahwa daku;
Tak punya kuasa dikala menyoal banyak syukur yang becongkol pada sumbu
Antara menatap masa depan suram dan belenggu masa lalu

Antara persimpangan jalan pengharapan dan haru
Tepat di dua sisi pelipis pasang mata antara aku dan kamu
Pada ocehan hangat aku dan bayangan dalam cermin itu

Tertanda si papa
Aku yang tergopoh-gopoh sibuk membaca diri

Tulungagung, 19 September 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline