Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Khotbah Jumat sebagai Ajang Evaluatif

Diperbarui: 8 September 2020   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salat Jumat pada minggu pertama di bulan September ini saya tunaikan di masjid Al-Azhar. Salah satu masjid yang letaknya tidak jauh dari kompleks perumahan Permei, rute destinasi wisata warung kopi sekaligus track jogging pinggir kali (Pinka) Ngrowo.

Tepat di sebelah selatan masjid Al-Azhar Sukoanyar itu terdapat bangunan PAUD Taam dan madrasah Diniyah Al-Azhar.   Pelataran bangunan itu jelas dihiasi dengan permainan khas kesukaan anak-anak, di antaranya; ayunan, selorotan, kursi berputar, bola dunia panjat dan jembatan panjat.

Dari kejauhan tampak jelas, salah satu ciri yang menandakan bahwa bangunan itu tempat belajar anak-anak ialah dekorasi dinding yang mulai tampak usang termakan zaman. Bahkan, beberapa paruh waktu, saya sering membuang wajah sejenak ke arahnya. Entah itu tatkala saya sedang beristirahat sejenak di serambi masjid ataupun di kala masih menduduki jok motor di parkiran.

Ah, tapi bukan potret sarana itu yang hendak saya ceritakan pada tulisan ini. Melainkan tentang cerita saya mengamati khotbah Jumat di masjid Al-Azhar. Salah satu kebiasaan baru semenjak saya mendapatkan pekerjaan di daerah Pinka.

Sedari awal menunaikan salat Jumat di masjid Al-Azhar, saya beberapa kali sempat berinisiatif untuk memastikan isi khotbah yang disampaikan berjentre apa. Sederhananya saya tertarik untuk mengidentifikasi, mengoleksi intisari dan mendikotomikan materi khotbah yang disampaikan sang Khotib pada setiap sesi salat Jumat.

Terhitung mulai bulan Januari akhir sampai Jumat pertama di bulan September, mayoritas isi khotbah yang disampaikan pada jamaah ternyata lebih cenderung bersifat normatif dan tekstualis. Semua materi khotbah Jumat yang disampaikan lebih nampak melangit tanpa dibenturkan dengan realitas kehidupan sosial yang ada di zaman serba modern ini.

Walapun memang ada materi khotbah yang berusaha disampaikan dengan berpijak pada bingkai problematika dan tantangan dalam menjalani kehidupan di era disrupsi ini, itupun hanya satu-dua saja. Selebihnya monoton.  

Saya pikir, sejauh ini yang saya pahami, setiap racikan isi khotbah Jumat yang disampaikan itu sepenuhnya memang menjadi tanggung jawab Khotib. Alhasil ke mana muara persoalan materi khotbah itu dialirkan, ya sesuai dengan kehendak Khotib. 

Entah itu hendak mengambil materi dari buku kumpulan khotbah praktis, hasil tulisan sendiri, intisari analisis realitas kehidupan maupun teks pedoman khotbah yang telah dimakan rayap sekalipun.

Kasus yang serupa juga saya temukan di beberapa perhelatan khotbah Jumat di masjid-masjid yang lain. Pada umumnya, sang Khotib hanya fokus menggugurkan rukun khotbah Jumat semata-mata tanpa menyodorkan persoalan terbaharu, memberi solusi ataupun pencerahan tentang bagaimana cara menyikapi kegandrungan realitas kehidupan yang ada.

Dari kasus ini dapat kita garisbawahi bahwa peran Khotib juga sedikit banyak memengaruhi cara pandang dan pemahaman para jamaah yang hadir. Pendek kata, latar belakang keilmuan dan pengalaman pribadi sang Khotib selaiknya juga diperhitungkan tatkala dewan takmir memilih seorang Khotib.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline