Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar bahasa kehidupan

Ulah

Diperbarui: 7 September 2020   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ingin kutampar wajahku berkali-kali
Namun sadar mengingatkanku kalau-kalau kedua sisian pipi ini tak pernah benar-benar kumiliki
Rasanya ingin kucekik bagian tengah leher ini berlipat kali
Tapi kewarasanku masih saja berarti

Kutatap dalam-dalam bayangan yang melekat di dalam cermin
Hingga nafsuku mengubun tanpa amfetamin
Sejenak pun aku tertegun, mendengar bisikan Ruhul Kudus 'Alamin
Dan kupahami berahi ini bukan terawet karena formalin
Melainkan adanya karena alamin

Dalam keheningan itu nuraniku beradu mulut dengan ego
Antara memuja dan menjadi bego
Persimpangan tikai antara bersimpuh di altar atau menjadi belo karena aho
Dan kutahu jarak dua antara itu melampaui amplitudo

Entahlah,
Entah telah seberapa jauh aku kehilangan nyawa untuk menikam arah
Memburu malu karena pasrah
Mengambinghitamkan sengketa dalam beracah-acah

Bahkan, ini telah kesekian kalinya aku tercekam
Memegang sumbu kata yang kuanggap tak pernah khatam
Sesekali hendak memalingkan wajah namun detak jantungku telanjur terbenam
Pelipurlaraku telah lama terbekam

Pernah sekali kupinjamkan penaku pada biungmu
Namun entah dengan alasan apa, penaku kegirangan bukan kepalang
Bahkan tak ada keluh, meski harus tertatih mengeja-ngeja alogritma nota pembelian nan tak berkesudahan
Entah lantaran kerasukan setan apa seakan-akan tak ada beban

Oh, apa mungkin ia sedang kasamaran?
Si pencacah rerumput ideku telah benar-benar kehilangan tingkat kewarasan
Dan hobi barunya menembus dinding kegilaan
Ekstase tanpa terbantahkan

Sesaat kemudian,
Umpat biungmu menjadikannya tumpul seiring tumpah sesenggukan
Seakan-akan tak ada daya untuk menorehkan sejengkal kalimat
Mungkin benar ramalan itu, usianya begitu singkat teramat
Sampai-sampai hanya seujung kuku pun ia telah habis riwayat
Tamat

Ah, namun sejak kapan penaku begitu jengah dengan perasaan?
Padahal tak sekalipun ia kuizinkan kelayapan
Terlebih lagi, menjalin persengkokolan ulung dengan Khalil Gibran
Entah dari mana ia tahu-menahu tentang selangkang setiap lembar perbukuan
Mendikte apa-apa yang harus ia tuangkan
Tunduk pada teori gaya tekanan Isaac Newton

Tepat di sela-sela ingatan,
Pada ruas jemari yang menaruh permusuhan
Kegetiran hatinya dengan berani tercurahkan
Kehendaknya untuk merangkai makna kata tak pernah terabaikan
Tapi mengapa sekarang ia berpilah-pilah pangkuan?
Mengobral janji murah pada siapa-siapa yang dianggapnya sebagai tuan

Tulungagung, 7 September 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline