Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar bahasa kehidupan

Meraba Kalangan Netizen

Diperbarui: 3 Agustus 2020   21:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Detik jam masih menunjukkan pukul 06.05 wib. Satuan angka yang masih ranum untuk waktu di hari weekend, dan itu terpampang jelas di layar depan smartphone. Informasi yang kudapat beberapa saat setelah telunjuk tangan kananku menekan tombol power di bagian kanan.

Entah mengapa, rasanya kedua tangan ini telah terlalu reflek dan sangat akrab dengan gawai belakangan ni. Rasa-rasanya  selalu ada jalan pintas yang mengharuskan adanya mufakat final antara gawai, kedua bola mata, kasur dan jari-jemari dalam kurun waktu yang tak terhingga. Mungkin iya, mereka sedang sibuk menghelat acara semacam reuni Akbar di hingar-bingar new normal yang tak kunjung normal.

Harus diakui secara jujur, kelanyahan itu tidak lain berkutat pada muara sejubel alasan; entah itu urusan pekerjaan, organisasi, menuntaskan kewajiban, membayar hutang tulisan, mengintip informasi yang up to date, mengikuti postingan tulisan terupdate di kanal platform tertentu sampai dengan merefresh otak yang sudah mulai spaneng. Main game.

Begitu halnya yang terjadi di pagi hari Minggu kemarin, si kedua tangan tanpa sungkan candu berselancar di layar gawai sesuka hati. Mula-mula kubuka WhatsApp, barangkali saja memang ada chat yang penting dan mengharuskanku untuk membalasnya. 

Meski demikian, harus diakui pula, bahwa yang menjadi nafas kehidupan WhatsApp milikku tidak lain hanyalah grup. Dan notifikasi dari akun media sosial lain adalah titik nadir penghabisannya.

Sesekali aku berinisiatif menyelinginya dengan berkunjung ke situs Artikula.id, di sana memang ada beberapa tulisan terbaru yang sudah aku tandai dan merencanakannya untuk dikunyah. 

Satu-dua artikel ringan berhasil dilahap dan tidak ketinggalan pula, sebagai tanda telah mencicipinya aku menyelipkan bubuhan kalimat pada kolom komentar. 

"Tak usahlah mencecarnya dengan semangat menjatuhkan, cukup beri koreksi mendasar sebagai masukkan yang membangun", gerutuku dalam hati tatkala mulai berani menjadi seorang netizen. 

"Lagian semenjak aku bergabung di platform ini, kok mesti ya... rata-rata orang tidak pernah meninggalkan satu jejak pun, sebagai tanda kalau mereka telah mencicipi satu tulisan. Like, meresponnya dengan bantuan emoticon yang tersedia ataupun komentar", lanjutku. 

Memang terkadang pembaca sungguh keterlaluan. Termasuk aku di dalamnya. Setidaknya dengan memberikan respon, sang penulis bisa tahu-menahu betul tentang sejauh mana kualitas tulisannya di mata orang lain sebagai seorang pembaca. 

Baik itu dari segi kekurangtepatan yang harus diperbaiki dan ditingkatkan maupun sisi keunikan dan keunggulan yang berhasil menginspirasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline