Menulis bukan salah satu passion yang diwariskan oleh kedua orang tuaku. Membaca buku bukan kebutuhan pokok yang ditekankan menjadi -isme pada setiap anggota keluarga. Sementara menjadi penulis bukan pula nasabiyah profesi yang digeluti dan diidam-idamkan ibu-bapakku.
Maklum saja, aku adalah anak yang bertumbuh-kembang dalam rahim keluarga sederhana di daerah pelosok, kampung. Mungkin Anda pribadi tahu bagaimana cara hidup orang kampung yang sangat menyatu dengan alam.
Kehidupan masyarakat tradisionalis yang menjunjung tinggi nilai-nilai; gotong-royong, saling bahu-membahu dan lekat akan syarat normalitas interaksi sosial. Ditambah lagi dengan tatanan demografis komunal, di mana masing-masing rumah warga terkondisikan secara bergerombol pada titik yang berbeda.
Mungkin kita pernah mendengar konsep persebaran penduduk seperti ini dalam pembahasan sosiologi. Sehingga Anda dapat menerka-nerka letak geografis daerah seperti apa keluargaku tinggal.
Sementara untuk menyambung kelangsungan hidup, masyarakat tradisionalis di kampungku lebih cenderung mengandalkan kemampuan mengelola agraris. Bercocok tanam di sawah, ladang dan kebun adalah rutinitas sehari-hari.
Namun, realitas kehidupan itu lambat-laun telah lama berubah menjadi masyarakat yang puspawarna. Percampuran antara; mereka yang mengandalkan hasil pertanian, menjadi masyarakat urban dan manusia yang mulai modern.
Mereka yang mengandalkan hasil pertanian, umumnya mengenyam pendidikan alakadarnya. Ada pandangan yang kemudian menjadi keyakinan, bahwa pendidikan itu adalah barang mewah yang susah direngkuh dan harus ditebus dengan memiliki profesi yang menghasilkan uang secara paten. Menjadi seorang PNS atau karyawan di perkantoran adalah jelmaan cita-cita ideal pandangan tersebut.
Mereka yang termasuk dalam kelompok ini lebih suka diam disatu tempat. Fokus mengejar-ngejar kebutuhan pokok urusan perut dan hasrat yang ada di bagian atas lutut. Biasanya mereka giat bekerja, berangkat pagi hari hingga akhirnya pulang menjelang petang. Entah berapa hektar lahan pertanian yang menjadi aset penghidupannya. Seolah-olah setiap hari selalu ada saja alasan untuk bertani.
Sebagian orang yang memutuskan diri menjadi masyarakat urban, ada kemungkinan besar telah bosan menjalani hidup sebagai seorang petani. Di samping itu, besaran penghasilan untuk menyokong hidup juga tidak luput menjadi bahan
pertimbangan.
Ditambah lagi dengan jumlah anggota keluarga yang berbanding lurus dengan kebutuhan yang harus tercukupi. Belum termasuk biaya untuk mengenyam pendidikan anak yang semakin membengkak, setidaknya itu sangat cukup menjadi bahan perhitungan matang-matang.
Atas dasar itu pula, banyak 'orang dewasa' khususnya Bapak dan para pemuda memilih untuk mengadu nasib di tanah orang. Umumnya mereka memiliki profesi sebagai pedagang kaki lima di perkotaan.