Lihat ke Halaman Asli

(Jum'at Mencatat) Ijah, Perempuan yang ber-‘Izzah

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedih rasanya jika mengingat hari jum’at. Bukan tidak senang dengan datangnya sayyidul ayyam ini. Namun setiap kali selesai shalat jum’at menemukan orang-orang yang merelakan dirinya menjadi pengemis. Entah dimana harga diri yang mereka miliki. Tak hanya yang berusia lanjut, yang berusia produktif bahkan anak-anak pun sering dijumpai.

Pakaian lusuh dan wajah mereka kusam menjadi senjata untuk memelas belas kasihan. Shalat jum’at pun entah didirikan atau tidak oleh mereka yang laki-laki. Ada yang menggendong anak-anak yang tidak kalah lusuhnya. Seringkali heran apa yang ada dalam pikiran mereka. Keadaan ekonomi ternyata menjadi alasan mereka saat diberikan pertanyaan.

Kondisi ini akan mudah dijumpai di masjid-masjid besar di beberapa kota besar. Mencari rezeki dengan cara mengemis banyak dilakukan oleh mereka yang mengaku hidup sengsara dan berkekurangan meski secara fisik tak kurang suatu apapun.

Berbeda dengan Ijah (nama samaran) seorang pembantu rumah tangga. Ibu 3 anak ini tak pernah mengenal kata lelah. Sebelum terang ia sudah pergi meninggalkan rumah bahkan seringkali tak sempat pamit pada anaknya yang bungsu karena masih tertidur. Ia harus berjalan kaki hampir satu kilometer menuju jalan raya, lalu naik angkutan umum dan berjalan kaki kembali untuk menuju tempatnya bekerja. Itu ia lakukan setiap hari pulang dan pergi bekerja.

Pekerjaannya pun termasuk tidak ringan, butuh loyalitas dan kejujuran. Ia bukan orang berpendidikan, jenjang pendidikannya terhenti di sekolah dasar. Ia diberikan kepercayaan untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah; mencuci, setrika pakaian dan mengepel lantai. Selain itu ia juga diamanahi untuk mengasuh seorang anak yang masih berusia kurang dari 2 tahun. Sepanjang hari ia hanya berdua dengan balita itu. Kedua orang tuanya bekerja hingga pukul 4 sore.

Meski tak mewah, rumah tempat ia bekerja tersimpan barang-barang berharga. Sang empunya rumah hanya mengunci lemari utama yang mereka miliki, selebihnya tidak ada yang tersembunyi. Namun Ijah yang tak mengenal sekolah lanjutan ini tak pernah berniat secuil pun untuk mengambil barang berharga milik majikannya. Bahkan sedekar memindahkan posisinya pun ia tidak berani kecuali ada instruksi.

Jika dilihat dari penghasilan, kemungkinan lebih kecil dari para pengemis tadi. Namun, Ijah mempunyai harga diri yang mumpuni. Ia adalah pekerja profesional yang patut dihargai. Ada atau tidak ada majikan, ia bekerja sepenuh hati. Niatnya tulus untuk bekerja membantu suami mencari nafkah, menghidupi anak-anaknya. Tak pernah terbesit dalam hatinya menjadikan kesusahan hidupnya sebagai senjata memelas iba.

Hidupnya ia jalani dengan penuh syukur. Meski hingga kini ia masih belum punya rumah sendiri, tapi mimpinya belum terhenti. Sedikit demi sedikit ia mengumpulkan uang untuk membangun rumah impiannya. Ijah seorang pembantu rumah tangga yang punya ‘izzah (kemuliaan diri), semangatnya mencari rizki yang halal tak pernah pudar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline