Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Saukani

TERVERIFIKASI

pensiun bukan lantas berhenti bekerja

Kerasnya Kepalanku Dulu

Diperbarui: 26 Oktober 2017   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kepalanku/a.saukani

Bukan cuma ragu bahkan aku yakin betul kepalan tinjuku ini tidak akan  bisa lagi menjungkalkan si keparat dekil ini, makanya kendatipun hati dongkol teramat sangat aku pilih memasukan saja kepalanku ini ke saku celanaku, pelan-pelan kuajak istriku menjauh, mana lagi kulihat si keparat tengil itu tidak sendiri sedang aku beserta istri, keponakan kecil serta dua orang cucuku.

Heran aku sungguh, kalau dulu menemukan situasi seperti ini sudah kulayangkan tinjuku, sudah kubuat bengkak-bekak muka si keparat itu, tak kupikirkan lagi aku beserta istri, beserta anak atau  beserta keponakan. Tidak kupikirkan lagi si keparat itu sendiri atau dengan segerombolan teman-temannya sekalipun. Tidak kupukirkan situasi akan kacau-balau.

Aku, sesungguhnya sangat malu hati, kehidupanku dulu-dulunya ya tidak lebih dari si keparat dekil itu bahkan mungkin lebih liar. Tapi aku tidak seperti si keparat itu, aku tidak pernah langsung merogoh saku orang seperti aku saksikan si keparat itu lakukan, aku juga tidak pernah mengacungkan senjata tajam apa lagi senjata api untuk mengambil alih milik orang lain. Aku cuma terima setoran dari teman-temanku itupun sama sekali aku tidak pernah memaksa mereka.

Aku, pernah begitu dekat dengan kehidupan bau alkohol yang orang sekarang katakan miras atawa minuman keras serta asap sangit haram yang teman-temanku bilang kemenyan, cuma saja baik alkohol ataupun kemenyan aku tidak pernah kecanduan seperti teman-temanku, bahkan aku entah bagaimana sesungguhnya dengan baunya saja barang haram tersebut sudahh mau muntah tapi demi gengsi aku kuat-kuatkan  menahanhnya. Aku pilih melayangkan kepalanku kalau ada yang coba-coba membujuku untuk menenggak minuman aneh atau mencoba kemenyan itu.

Sesungguhnya aku ini lelaki cengeng, teramat cengeng. Aku menangis ketika salah seorang temanku harus mati dengan cara yang mengenaskan. Cuma saja dan tentu saja tangisku harus kusembunyikan.

Selain cengeng aku ini sesungguhnya lelaki romantis. Tidak ada satupun teman-temanku yang tahu kalau aku menyukai lagu-lagu yang mendayu-dayu bahkan cengeng kata teman-temanku. Kalau teman-temanku pilih lagu dangdut dengan irama yang menghentak seperti lagu Begadang atawa Judi-nya Rhoma Irama, aku pilih lagunya Ike Nurjanah dan Evie Tamala.

"Selamat Malam" lagunya Evie Tamala itu yang paling kusukai dan bahkan sampai sekarang masih suka kudendangkan dengan sembunyi-sembunyi, lagu penuh kenangan bersama pacar yang sekarang sudah jadi Nenek dari cucu-cucuku.

Aku bisa garang dan tidak pedulian tetapi aku juga cengeng dan romantis seperti kukatakan tadi. Satu hal lagi aku juga sesunggunya lelaki yang perasa dan mudah tersentuh serta bersimpati.

Sekali waktu, aku pernah terima curhat seorang copet pasar, orang yang pernah jadi pesaing diawal karirku. Orang ini pernah merasakan pedasnya kepalanku, wajahnya pernah porak-poranda kubuat. Kami berdua saja ketika itu di sebuah Warteg, dia curhat sambil sesekali mengucak matanya yang tampaknya mulai berair menceritakan putranya yang sakit di kampung. Dia mohon-mohon agar aku mau meminjamkan uang untuk perobatan putranya itu. Aku amat tersentuh, tidak kupinjamkan bahkan kuberikan dengan cuma-cuma uang sebanyak yang disebutkannya.

Aku baru berhenti dari dunia becek penuh intrik kelas recehan itu ketika seorang gadis yang lama kupacari secara diam-diam meminta aku untuk melamarnya. Setelah menikah kami berdua  terbang mencari peruntungan di negri sebrang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline