Lihat ke Halaman Asli

Parkir Mobil Berujung "Pemecatan"

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Parkir Mobil Berujung "Pemecatan"
KAMIS 3 Juli lalu, tepatnya pukul 16.45 wita, menjadi hari paling bersejarah dalam hidup saya sebagai insan pers atau pewarta berita di perusahaan media lokal di Makassar.
Bukan karena mendapat penghargaan (reward) atas kinerja saya selama hampir 11 bulan. Sejak September 2013 hingga Juli 2014 .
Melainkan malah petaka buruk yang saya terima. Yakni "pemecatan". Istilah halusnya adalah skorsing tanpa batas.
Bagi saya dan mungkin saja semua pembaca menilai, hukuman ini sangat tidak logis dan rasional. Alasannya, karena tidak ada penjelasan secara detail dari pimpinan ataupun para elite perusahaan perihal pelanggaran yang saya lakukan.
Sebesar dan seberat apa sih pelanggaran itu sampai saya mendapat dihukum seperti ini??? Tanyaku.
Sanksi "skorsing tanpa batas " itu diperkuat dengan adanya surat keputusan (SK) bernomor: 404/A/Dirut-RASUL/VII/2014 yang ditandatangani langsung Direktur Utama PT Rakyat Sulsel Intermedia Subhan Yusuf.
Adapun petikan atau isi suratnya, menyebutkan bahwa saya dianggap telah melakukan tindakan yang indisipliner dalam ruang lingkup kerja perusahaan.
Awalnya, saya tidak percaya dan tak habis pikir, ternyata bentuk pelanggarannya adalah gara-gara rebutan lahan parkiran mobil berukuran 4x10 meter yang berada di halaman depan kantor saya di Jalan Hertasning Makassar.
Dulu, bangunan ini merupakan kantor konsulat Republik Cheko. Tapi kini sudah jadi kantor sementara Harian Rakyat Sulsel.

Ceritanya seperti ini, kala itu, mobil berwarna hitam merk Mitsubishi Mirage milik saya, terparkir tepat di area parkiran yang biasa dijadikan sebagai lokasi kendaraan pimpinan (Komisaris dan Direktur) diparkir.
Sore itu, saya memimpin rapat jajaran redaktur di ruang redaksi. Tiba-tiba terdengar suara teriakan cukup keras dari luar gedung. Tepatnya di lokasi parkiran kendaraan khusus untuk mobil.
Sepintas suara itu terdengar memanggil namaku. Rudhy,rudhy,rudhy. Seketika itu saya kaget dan menghentikan rapat yang agendanya membahas mengenai perencanaan berita yang akan terbit esok hari.
Karena penasaran, saya pun bergegas menuju pintu ruang redaksi, sumber suara itu semakin keras dan meninggi, laiknya mahasiswa yang tengah berdemo menggunakan pengeras suara (toak).
Rupanya teriakan itu adalah suara komisaris utama PT Rakyat Sulsel Intermedia. Sebut saja SBA.
Dalam keadaan ketakutan bercampur emosi, sumber suara itu mulai saya jauhi dan kembali melanjutkan rapat bersama teman-teman redaktur.
Belum sempat mengucapkan salam, seorang satpam bertubuh kurus, dengan seragam lengkap menghampiri saya.
Dengan nada tergagap, Satpam itu menyampaikan pesan singkat agar mobil saya segera dipindah tempatkan dari lokasi parkiran milik pimpinan.
"Pak Rudhy, mobilta iyye, tolong dipindahkan, karna Boss mau masuk. Diluar beliau marah-marah terus dan sebut namata (rudhy)". Demikian pesan sang Satpam.
Dengan sigap bercampur takut, saya pun berlari menuju parkiran yang jaraknya kurang lebih 50 meter dari ruang redaksi.
Ternyata seisi kantor, bukan hanya saya yang kaget, melainkan karyawan yang ada saat itu, juga ikut ketakutan mendengar teriakan "Sang Penguasa".
Singkatnya, saya kemudian memindahkan mobil itu ke area yang lebih aman, yakni di rumah penduduk yang bersebelahan dengan kantor saya.
Bertepatan dengan itu, sumber teriakan itupun redup dan menghilang seketika.
Awalnya saya tidak menyangka jika parkiran mobil menjadi petaka buruk bagi saya. Ternyata, itu benar setelah Direktur Utama memanggil saya ke ruang kerjanya.
Tak cukup 5 menit saya duduk di ruang kerja Dirut yang berada di ruang tengah gedung atau sekira 10 meter dari pintu utama kantor.
Dengan nada rendah, si Dirut menyapaikan jika saya memiliki kesalahan besar yang cukup fatal bagi kelanjutan karier saya di kantor.
Sontak, saya pun bertanya "apa kesalahan saya Pak"? tanyaku. Jawabnya, "saya juga tidak tahu dek apa masalah, Pak Bos (komisaris) hanya menyampaikan agar hari ini juga kita tidak masuk kantor dulu sampai ada panggilan selanjutnya".
Sebagai karyawan atau anak buah, pesan itupun dengan terpaksa saya setujui, meski penuh tandatanya besar. Apa sebenarnya persoalan yang terjadi.
Saya pun bergegas meninggalkan kantor tanpa izin teman-teman redaktur lainnya. Bahkan meninggalkan tugas atau kewajiban saya mengedit berita kiriman dari reporter di lapangan.
Cukup pembaca tahu, kejadian ini bertepatan bulan suci ramadan, sekitar pukul 17.25 wita, atau menjelang buka puasa untuk wilayah Makassar. (Bersambung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline