Presiden Joko Widodo dijadwalkan akan menghadiri perayaan Hari Pers Nasional ke-32 di Padang, Sumatera Utara. Hari Pers Nasopnal tiap 9 Februari mulanya dicetuskan lewat Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 dengan pertimbangan bahwa pers dan wartawan menyumbangkan andil penting dalam proses pembangunan dan pengalaman dasar negara Pancasila.
Jejak kawan-kawan wartawan masih jelas terpatri pada jalan panjang kemerdekaan Republik Indonesia. Kala ide soal kemerdekaan terasa tidak terbayangkan bagi rakyat Hindia, sekelompok anak muda di belakang surat kabar rakyat memberanikan diri mengabarkan agitasi membebaskan diri dari kolonialisme. Di masa itu, surat kabar sama pentingnya dengan bambu runcing dan diplomasi luar negeri, ia adalah alat perlawanan yang efektif juga mencerdasakan.
Sayangnya, Hari Pers Nasional tahun ini akan dirayakan di atas keputusan-keputusan pemerintah yang tidak memihak kemerdekaan berpendapat. Kehadiran Jokowi dalam perhelatan megah di Sumatera Utara hanya jadi pemanis yang mengalihkan bobroknya demokrasi negeri. Rencana dihidupkannya lagi pasal penghinaan presiden dan wakilnya adalah satu contoh besar dari mundurnya demokrasi kita yang diperjuangkan dengan darah dan keringat rakyat.
Pasal ini memang bukan dicetuskan secara eksklusif di masa pemerintahan Jokowi saja. Pada masa pemerintahan Suharto, barangsiapa yang melecehkan presiden terancam hukuman penjara lima tahun. Pada masa pemerintahan SBY RUU itupun juga kembali dibicarakan namun ditolak oleh MK pada tahun 2006. Lantas, bagaimana upaya Jokowi membangunkan pasal ini dari tidurnya?
Pro kontra mengenai pasal penghinaan presiden pada masa pemerintahan Jokowi sebenarnya sudah dimulai pada tahun 2015, baru setahun setelah ia menjabat. Jokowi beralasan bahwa penghidupan pasal ini bukan semata ditujukan untuk melindungi dirinya.
"Urusannya presiden sebagai simbol negara bukan pas saya saja kan, nantinya juga jangka panjang," ujarnya seperti yang dikutip melalui Kompas.com bulan Agustus 2015 silam. Ketetapan ini nantinya akan ditambahi oleh pasal penegas, seperti yang tertuang dalam draf Pasal 263 Ayat (1) RKUHP:setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Selain itu, penghinaan presiden ini bakal masuk kategori delik umum, bukan lagi delik aduan. Maka, barangsiapa yang menghina presiden bakal terancam masuk bui meski tanpa ada aduan dari pihak yang merasa dirugikan.
Pengajuan revisi KUHP ini tentu mengecewakan beberapa pihak, tak terkecuali rakyat yang pada pemilu 2014 memberikan suaranya pada Jokowi. Pada pilpres 2014 silam, Jokowi dihadapkan pada Prabowo yang eks-militer, Jokowi memenangkan suara dari para pemilih muda dan kelas menengah dengan harapan bahwa presiden dari kalangan sipil dapat dengan konsisten mempertahankan nilai demokrasi.
Di sisi lain, Prabowo seringkali dibingkai oleh para pendukung Jokowi sebagai figur yang otoriter seperti mendiang mertuanya. Kendatipun demikian, hampir empat tahun Jokowi memimpin ia terlihat kelabakan dan gegabah dalam mengelola gelombang oposisi. Satu setengah tahun sebelum pencoblosan Jokowi secara intensif 'mempersenjatai' dirinya dengan deretan jenderal. Ternyata presiden yang dulu dipilih karena pro wong cilik, ndeso, dan dekat dengan rakyat telah menjelma jadi elite berseragam zirah yang tidak ragu-ragu nggebuk para pengkritiknya.
Naif apabila kita mempercayai kilah pemerintah bahwa upaya penghidupan kembali pasal ini tidak ditujukan untuk melindungi Jokowi. Lantaran bukan suatu kebetulan apabila presiden ketujuh ini mengajukan revisi KUHP pada satu tahun setelah ia menjabat dan satu tahun sebelum ia turun tahta. Jokowi tentu cukup cerdas menyusun maneuver di tahun-tahun pemilu yang menggawat ini.
Semua pendukung dan partai koalisinya sedang bergegas mengamankan situasi Pilpres 2019. PDI-P yang sempat menolak dengan keras usulan pasal penghinaan presiden dalam revisi KUHP pada tahun 2013, kini justru terlihat sangat vokal mendukung kriminalisasi atas penghina presiden. Di tangan Jokowi, Indonesia dinobatkan oleh The Economist Intelligence Unit sebagai negara dengan performa terburuk pada 2017, turun 20 tangga di peringkat global dari posisi 48 ke 68 setelah skornya menurun dari 6.97 ke 6.39.