Lihat ke Halaman Asli

Manatap Nadeak

基督大使

Empati dan Menghargai Kebijakan Pemerintah dalam Proses Legalisasi LGBT

Diperbarui: 11 Juli 2018   12:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lifesitenews.com

Keberadaan komunitas LGBT (Lebian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang sekarang ini menjadi polemik di Indonesia seringkali menjadi lingkaran diskriminasi dalam berbagai ranah sosial, hak-hak dasar mereka sebagai warga negara seringkali dihiraukan, dan bahkan hinaan, cercaan dan perlakuan keji sering dilampiaskan kepada mereka, sekalipun mereka tidak melakukan tindakan kriminalitas yang mengganggu ketertiban sosial. 

Komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kerap mendapat stigma sebagai manusia abnormal karena diangggap menyalahi kodrat sebagai manusia. Oleh tafsir agama konservatif, kelompok LGBT dianggap sampah masyarakat, menyebarkan penyakit menular, tidak  normal, tidak alamiah, sumber datangnya malapetaka, dan penyandang cacat mental (Fadhilah, 2015).

Di lingkungan kita saat ini, ada dua pandangan yaitu, pandangan Heteronormavitas dan Heteroseksisme yang menyatakan bahwa komunitas LGBT sebagai komunitas manusia yang abnormal karena menyalahi kodrat mereka sebagai manusia. 

Pandangan Heteronormativitas melihat segala persoalan tentang seksualitas dalam kacamata heteroseksual yang menganggap bahwa orientasi seksual yang benar dan tidak menyalahi norma agama dan sosial adalah heteroseksual. 

Sedangkan dalam pandangan Heteroseksisme merupakan suatu keyakinan bahwa heteroseksual itu lebih unggul, lebih superior, yang didukung oleh budaya dan praktik-praktik institusi di masyarakat. Termasuk juga asumsi bahwa semua orang yang heteroseksual dan bahwa heteroseksual adalah benar dan normal (Fadhilah, 2015).

Adanya stigma yang menganggap komunitas LGBT sebagai manusia yang menyalahi kodrat manusia memberikan label ataupun persepsi yang menganggap mereka sebagai manusia abnormal. 

Hal inilah yang membuat mereka selalu berada di dalam cengkraman diskriminasi dalam berbagai aspek yang sebenarnya mereka layak menikmati hak-hak mereka sebagai manusia tanpa diskriminasi. 

Tidak terlepas dari hak mereka menikmati hidup tanpa tekanan, bebas dari berbagai bentuk tindakan kekerasan, bebas berbaur dengan linkungannya, bebas berpendapat mengungkapkan jati dirinya dan layak menerima apa yang menjadi hak dasar mereka sebagai manusia pada umumnya, serta berekspresi bebas di lingkungannya. Akan tetapi, perlakuan sebaliknya yang kerap mereka terima.

Berbagai kabar di media massa turut mewarnai berita-berita diskriminasi terhadap komunitas LGBT. Dalam data dua tahun terakhir terdapat 89,3 persen LGBT di Indonesia pernah alami kekerasan. 

Seperti, penggerebekan tempat-tempat yang dianggap rawan sebagai tempat komunitas LGBT (Erdianto, 2016), diskriminasi dalam dunia pendidikan dengan adanya larangan oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir yang menegaskan, kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) tidak boleh masuk kampus karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang ada (Batubara, 2016), penggerebekan dan ditutupnya sejumlah salon kecantikan di Aceh yang dianggap sebagai kawasan para waria, dan kasus lainnya yang mengecam penyandang LGBT kehilangan pekerjaannya dan harus menjadi pelampiasan tindakan kekerasan dan diskriminasi.

Kasus di atas cukup mewakili kondisi bagaimana reaksi dan sikap masyarakat Indonesia terhadap setiap gesekan permasalahan yang sedang terjadi, khususnya menanggapi polemik proses legalisasi LGBT. Situasi ini juga semakin memuncak akan adanya oleh anggapan masyarakat bahwa pemerintah dinilai belum memiliki perhatian terkait maraknya peristiwa kekerasan dan tindakan diskriminatif terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Indonesia (Erdianto, 2016). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline