Lihat ke Halaman Asli

Manal Ilham Al Mazid

Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Mengklaim Hak Nafkah Anak terhadap Bapak Pasca Perceraian

Diperbarui: 12 April 2023   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebuah kasus tentang perceraian dan ketidakbertanggungjawaban seorang ayah dalam pemenuhan hak nafkah atas anaknya. Kasus ini dialami oleh sebuah keluarga di salah satu daerah di Jawa Timur. Perceraian yang terjadi pada tahun 2012 silam yang mana harus menjadikan 3 orang anak sebagai korban perceraiannya. Saat itu anak-anaknya berusia 12 tahun, 9 tahun, dan 4 tahun. Pasca bercerai Anak pertama dan kedua dibawa oleh bapaknya dan yang terakhir yang berusia 4 tahun dibawa oleh ibunya. Sejak awal perceraian hingga akhirnya mereka memiliki keluarga masing-masing, si anak yang berusia 4 tahun tadi yang dibawa oleh ibunya itu sama sekali tidak pernah dikasih nafkah sepeserpun oleh bapaknya. Padahal seorang bapak itu wajib hukumnya menafkahi dan memenuhi segala kebutuhan serta pendidikannya hingga anak-anaknya dewasa atau berusia sekitar 21 tahun. Alhasil anak tersebut dinafkahi dan dibiayai segala kehidupannya oleh bapak sambungnya.

Si ibunya ini merasa malu, karena anak tersebut yang seharusnya mendapatkan nafkah dari bapak kandungnya malah mendapatkan nafkah dari orang yang merupakan bukan tanggung jawabnya. Ibunya ini menunggu iktikad baiknya si bapak kandung untuk menafkahi dan membiayai pendidikan hingga sekarang ini 2023. Jadi sekitar 11 tahunan sudah si bapak ini lari dari tanggung jawabnya. Alih-alih menafkahi, si bapak selalu merasa kehidupannya kurang terus, padahal si bapak ini memiliki sawah dan tanah yang masih dikelolanya. Dia lebih memikirkan kehidupannya sendiri bersama istri barunya. Sawah tersebut padahal bisa kan diserahkan ke orang yang mengasuh anaknya untuk kemudian membiayai hidupnya selama belum berusia 21 tahun. Tapi si bapak ini takut akan terjadi penyalahgunaan sawah tersebut jika diserahkan kepada istri lamanya atau ibu dari anaknya tadi. Bapaknya memiliki ketakutan akan penyalahgunaan sawahnya, tapi dia juga tidak sadsar akan tanggungjawabnya sebagai bapak kepada anaknya tadi.

Kemudian untuk nasib anak yang dibawa oleh bapaknya tadi, mereka mendapatkan nafkah dan biaya pendidikan yang cukup. Namun 2 tahun belakangan ini, si bapak juga mulai tidak memikirkan anaknya itu, alasanya si anak yang pertama memang sudah menikah dan sudah tidak ada hak lagi untuk dinafkahi. Namun si anak yang kedua yang kini masih berumur 19 tahun dan masih menempuh pendidikan, dia sudah tidak dipikirkannya lagi oleh si bapak. Si bapak selalu bilang hidupnya kekurangan, tapi bukan berarti kekurangan lepas dari tanggung jawabnya kan?. Lagi-lagi si ibu harus ikut memikirkan nasib anaknya yang kedua ini, masa iya tidak menafkahi anaknya yang terakhir tanpa tanggung jawab si bapak dan masih harus memikirkan anak keduanya. Disini si ibu bingung sekali, bagaimana harus menyadarkan bekas suaminya itu akan tanggungjawabnya sebagai seorang bapak.

Solusi Untuk Perkara Ditinjau Dari Hukum Positif

Solusi untuk perkara tersebut adalah seorang ibu berhak mengajukan gugatan hak nafkah kepada seorang bapak terhadap anaknya. Gugatan tersebut diajukan ke pengadilan agama ataupun negeri. Baik gugatan tersebut menang dipihak ibu atau bapak tergantung keputusan hakim. Namun untuk menyelesaikan perkara tersebut pihak ibu dapat mengajukan gugatannya.

Sejalan dengan kewajiban suami untuk bertanggung jawab atas keluarganya, termasuk atas urusan nafkah, ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan menerangkan bahwa istri berhak untuk mengajukan gugatan nafkah ke pengadilan jika seorang suami tidak menafkahi keluarganya (anak dan istri) sebagaimana kewajibannya.

Kewajiban orang tua terhadap anak tidak serta merta terputus meskipun pihak kedua orang tua tersebut telah bercerai. Dan hak asuh anak jatuh kepada salah satu orang tua tersebut. Di dalam pasal 41 huruf a Undang-Undang perkawinan melindungi kepentingan anak dengan mewajibkan bapak atau ibu memelihara dan mendidik anak mereka. Berdasarkan pasal 41 hurub b Undang-undang perkawinan, biaya pemeliharaan dan Pendidikan yang diperlukan anak dotanggung oleh bapak. Pengadilan dapat mewajibkan pihak ibu untuk ikut dalam bertang jawab atas biaya tersebut bilamana pihak bapak terbukti tidak sanggup memenuhi kewajibab pembiayaan secara mandiri. Dan penggaung biaya pemeliharaan dan Pendidikan anak juga diatur dalam pasal 105 KHI, yaitu hanya oleh bapak.

Dan pada Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU perkawinan) dijelaskan bahwasanya kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anaknya sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri

Dalam kasus yang dijelaskan sebelumnya pihak bapak tidak memenuhi tanggug jawab nafkah terhadap anak pasca perceraian berlangsung, dimana anak tersebut masih berusia yang pada saat dalam kewajiban mendapat hak nafkah, dan pihak bapak beralasan bahwa ia tidak mampu, dan pihak ibu beranggapan bahwa pihak bapak memiliki sawah dan tanah yang masih dikelolanya.

Bilamana pihak bapak yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah terhadap anak pasca perceraian ia akan mendapat sanksi sebagai berikut:

Sanksi perdata:

  1. Seseorang dapat digugat ke Pengadilan untuk mengganti biaya nafkah anak yang tidak diberikan kepada anak.
  2. Seseorang dapat dicabut hak kuasa asuh terhadap anaknya sebab melalaikan kewajibannya menunaikan nafkah anak.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline