Palestina menjadi penting sebagai isu HAM dunia namun ada satu wilayah yang juga mendapat perlakuan pelangaran Hak Asasi Manusia, secara Sistematis namun di pandang Hina di mata dunia. Eksploitasi alam dan ekspedisi manusia dalam rangka Pertumbuhan ekonomi dan ketahanan negara, Indonesia melakukan aksi pertahanan nasional demi indonesia yang satu (Sabang sampe Marauke). Militer di kerahkan dengan semangat menjaga tanah air, TRIKORA di bentuk Pembantaian pribumi di mulai dan berujung pada Slogan Papua kembali ada pangkuan IBU PERTIWI (1961-1962).
Ini menjadi embrio Pembantaian Ras Papua di negerinya semdiri. Menurut penulis rakyat Papua sendiri meyakini bahwa Semangat perjuangan pengusiran penjajah dari bumi Nusantara adalah bentuk dari penderitaan yang sama namun bukan dengan merdeka dan bernegara tunduk di bawah pemerintahan raja-raja modern Sebab di Papua sendiri memiliki tradisi kelompok-kelompok kesukuan yang masing-masing memiliki pemimpin yang menjaga kelompok masyarakat yang ada di tanah Papua sejak 1949 ketika Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda tidak menyerahkan Papua kepada Indonesia yaitu tercantum jelas di dalam buku 4 pilar berbangsa dan bernegara namun kemudian proses pencaplokan atas bangsa Papua dimulai dari deklarasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diklaim oleh Indonesia bahwa Papua bagian daripada NKRI namun hal tersebut bisa dibuktikan bahwa itu hanyalah pengklaiman sebab pada tahun 1962 Indonesia masih mengkampanyekan perihal kembalinya Papua ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Seperti yang telah penulis sampaikan di awal ada juga peristiwa 1963 yang di kenal dengan aneksasi sampai kepada Pepera 1969 rakyat Papua dikelabui oleh bangsa Indonesia dengan melakukan penentuan nasib sendiri papera itu dijalankan dan disertai dengan pembantaian pembunuhan pemerkosaan penganiayaan di seantero tanah Papua, kita bisa kenal dengan biak berdarah, wasior berdarah, pembunuhan Manokwari, sorong dan wilayah-wilayah papua lainnya menjadi tempat bersejarah pembantaian rakyat Papua di atas tanahnya sendiri ini yang kemudian penulis melihat bahwa selain daripada Palestina sebagai negara dengan utgensi pelangaran HAM internasional maka PBB dan dewan HAM internasional perlu melihat Papua sebagai wilayah pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara Republik Indonesia. Kenapa Papua disebut sebagai wilayah pelanggaran HAM berat dan harus menjadi perhatian dunia sebab satu rentetan peristiwa yang tidak terputus dari tahun ke tahun kita akan mendengar kita akan menyaksikan pembantaian rakyat sipil mulai dari kota sampai ke pegunungan dan pembantaian pembunuhan penganiayaan ini terjadi secara berurutan sistematis dari tahun 1961 bahkan mungkin lebih, hinggah saat ini maka dalam hemat penulis sepertinya Papua Dalam sangkar genocide Indonesia.
Suatu rentetan panjan distribusi militer yang ada di Papua menjadikan satu traumatik sejarah membangun satu stigma peradaban bawah yang berbaju loreng berbaju coklat adalah pembunuh orang-orang tua, anak-anak pembunuh wanita. Jangan salah kalau saat ini anak-anak Papua menyebut bangsa ini dengan kolonialisme, tidak hanya sampai di situ gerakan militer ini sekarang sudah menjadi militerisme bahwa ada satu keyakinan militer yang ada di Papua itu bukan lagi militer sebagai keamanan namun memiliki insting psikopat yang ketiga melihat orang Papua dengan rambut gimbal membawa senjata itu adalah KKB tidak semua putra-putri Cendrawasih itu adalah pemberontak nyatanya banyak kemudian yang menjadi bagian daripada NKRI masuk ke dalam sistem tapi ketika belajar ini sampai ke Papua ada beberapa kejadian yang menjadi ukuran masyarakat Papua bawaan militer resmi ini tidak memiliki analisis tentang mana kelompok kriminal bersenjata dan mana warga sipil ini yang terjadi sehingga banyak pembantaian yang salah sasaran terjadi di Papua itu bagian daripada kekayaan negara dalam kemudian menjaga rakyatnya sendiri persoalan Papua dari dulu sampai sekarang tidak selesai karena ada oknum-oknum yang ditugaskan di Papua tidak menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan perintah perundang-undangan ataukah perintah negara ada tindak di luar daripada kewajaran manusia ada yang bertindak keluar daripada undang-undang ada yang bertindak di luar daripada kebijakan ataukah perintah negara ini yang kemudian meretas semangat berbangsa dan bernegara anak muda Papua.
Maka dalam tulisan singkat ini penulis ingin menggambarkan wajah militer yang ada di Papua sedang bertugas dan konsep negara dalam melakukan pengamanan di Papua harus kemudian ada evaluasi pemerintah dalam melakukan agenda pengamanan negara sebab jika tradisi militerisme ini berlanjut di Papua maka sampai kapanpun kedua anak bangsa ini akan selalu berguntung-gontokan kita akan tunggu waktunya siapa yang akan mati lebih banyak entah kelompok bersenjata yang diklaim negara sebagai teroris ataukah militerisme yang diklaim sen kolonialisme.
Ketika terjadi pembantaian tentara polisi di wilayah-wilayah yang sudah ditetapkan menjadi wilayah-wilayah zona merah maka bangsa Indonesia sejarah kekuatan medianya branding media bahwa ada penembakan pembunuhan terhadap TNI Polri di mana perhatian mahasiswa di mana perhatian masyarakat terkait dengan HAM jika mau dilakukan hitung-hitungan maka kita harus beruntung Berapa banyak korban jiwa sipil di Papua terkait pembunuhan pembantaian yang di lakukan negara di Papua dengan TNI dan Polri. Maka angka kematian warga sipil lebih banyak daripada angka kematian TNI maupun Polri yang ada di Papua jadi jangan diteriak soal keadilan HAM sebab jika dibandingkan Maka sangat tidak seimbang angka kematiannya.
Beberapa kasus pembunuhan pembantaian terhadap warga sipil di Papua itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia kita tidak memiliki jiwa kemanusiaan entah kita yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan ataukah bangsa ini tidak menganggap warga sipil Papua bagian daripada manusia sehingga. filep Karma, menyampaikan "seakan kita orang setengah binatang" ada yang kemudian di Arak-arakan dengan mobil ada yang kemudian diikat dengan kayu hingga meninggal di bawah tanah ada kemudian kasus pengumpulan warga dibuatkan kolam dimasukkan dan kemudian dibantai banyak sekali perempuan-perempuan yang disiksa jika kita membaca buku yang ditulis oleh sukrate Sofyan Nyoman "suara bagi kaum tak bersuara" dua banyak dengan ia antara perempuan. Ini yang kemudian menjadi luka sejarah Maka jangan salah sampai saat ini masih banyak putra dan putri crndrawasih yang teriak soal merdeka karna luka yang belum di keringkan muncuk luka yang baru kesedihan ini terasa dari sejarah hinga metasejarah dumi Cendrawasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H