Lihat ke Halaman Asli

Manaf Rumodar

Mahasiswa

Renungan Ramadhan: Prihal Kematian

Diperbarui: 13 Maret 2024   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Jika klimaks dari pada kehidupan ialah kematian maka kematian adalah puncak dari kesempurnaan manusia, olehnya itu setiap individu sudh menjadi suatu keharusan untuk mempersiapkan diri agar menjemput kematian. 

Perihal kematian, kita adalah mahluk yang BerFikr mestinya kita bisa menalar keterhubungan antara sebelum menjadi manusia dan sesudah manusia, seharusnya ada aktualitas dari tahap ke tahap dan kita bisa melihat kausalitas (sebab akibat) secara logis dan memiliki suatu landasan yang ilmiah, Agar kita bisa mempersiapkan syarat-syaratnya. sebab di alam ini tidak ada sesuatu yang terjadi dengan sendirinya (kebetulan), namun setiap akibat pasti punya sebab secara ilmiah dan logis.

Akan muncul satu pertanyaan bahwa : Mengapa kita harus di Ciptakan hidup untuk mati? Jika secara awan kita akan menyebut tuhan seakan-akan  tak ada pekerjaan menciptakan manusia hidup untuk mati. Namun jika kita telusuri lagi lebih mendalam maka ada makna di balik kematian sebab tak ada ciptaan yang sia-sia.  Namun bagaimana kita bisa memahami makna dari kematian kita membutuhkan suatu nalar yang epistemic agar mampu menelisik lebih dalam prihal kematian manusia secara ilmiah dan logis.

Sudah menjadi suatu kemestin bahwa setiap insan yang berFikr haruslah BerEpistemologi. Agar kita tidak sedang berasesoris islami tapi juga berpikir yang islami. Lantas apa cara berpikir yang islami itu? Berpikir yang islami itu adalah berpikir yang Epistemic. Mempu membedakan mana persepsi dan mana konsepsi agar tidak kacau balau dalam menilai fenomena.

Karna menjadi islami Bukan hanya dengan Pakaian yang religius sebab pakayan hanyalah simbol. Namun tentu itu baik-baik saja tetapii yang kita takutkan adalah simbol yang padanya melekat ismenya (simbolisme) yang terkadang memaksa meruba mangset berpikir kita untuk mempredikasi pohon, bendera, dan lain-lain berkeyakinan pada agama tertentu. Ini yang berbahaya dalam budaya keislaman kita, dan saat ini hampir 75% umat Islam menganut paham ini yang dimana melekatkan keyakinan pada batu bendera pohon burung dan lain-lainnya. Sehingga jika simbol ini di lecahkan maka semua umat Islam akan marah dan akan terjadi konflik Horizontal yang tak dapat di bendung.

Namun mereka tak sadar bahwa mereka tak ada bedanya dengan pendahulu umat manusia yang menuhankan batu kayu maka kita sebut generasi Islam yang seperti ini adalah karikatur penyembah BERHALA. Mengapa demikian karna bukan pakaian islami atau simbol yang di predikasi oleh manusia yang bisa menjelaskan makna agama-Nya tapi pikiran yang epitemic yang sama-sama dengan agamanya berasal dari-Nya lah yang bisa menjelaskannya. Tapi terkadang juga ada yang menyimpulkan bahwa cukup percaya saja pikiran tidak sampai pada tuhan. Yang penting yakin saja....dogmatik yang romantis seperti ini tentu itu baik-baik saja. Tapi coba di tashawwuri kembali mana mungkin sesuatu yang sama-sama berasal darinya tapi tak mampu menjelaskan tentangnya. Akan bertentangan dengan pikiran kita.

Tapi apakah islam yang katanya rasional akan menjawab pertanyaan agama dengan argumentasi yang tak ada bedanya dengan Descartes, Kant dan Plato.  Yang cukup dengan percaya saja. Namun apakah Tuhan tidak punya hubungan nalar yang berkaitan dengan struktur pengetahuan? yang dimana akal kita ini berasal darinya, mana mungkin dia menciptakan sesuatu yang tidak bisa memahaminya.? 

Tidak mungkin ada dua hal yang asama-sama dari sumber yang sama tapi tidak punya keterkaitan. Jika kita harus kembali melihat literatur Maka dalam FalsafaTuna (Ayatullah Baqir Shadr)  menjelaskannya secara saintifik. 

Kembalinya kita pada-Nya (kematian) adalah suatu fenomen yang tidak dapat di bendung secara saintifik namun setidaknya dengan Berfalsafatuna kita bisa mengerti apa kriterianya. Apa maksud kedatangan kita dan kenapa kita harus di kembalikan.? Bukan sekedar datang dan setelah itu pulang tanpa ada suatu aktualitas sebagai bukti akan perwujudan kita atas eksistensi-Nya, sebab kita bukan (JALANGKUNG). Next




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline