Lihat ke Halaman Asli

Tulisan Tangan; Momok bagi Bangsa Penakut

Diperbarui: 8 Oktober 2016   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel


Zaman sudah semakin maju. Semuanya makin berubah menjadi mudah, praktis dan serba 'wah'. Perubahan ini serta merta berubah atau lebih tepatnya tergantikan. Sebagai contohnya, satu kegiatan yang seharusnya tidak menjadi korban perubahan ini adalah menulis dengan tangan atau hand writing. Padahal Negara kita adalah salah satu negara yang mengenal seni sebagai ikon spesial di samping ikon-ikon lainnya. Dan handwriting juga kerap dikategorikan sebagai salah satu macam seni rupa. Dahulu, kegiatan menulis tangan dilakukan oleh nenek moyang kita bahkan dengan perjuangan dan penuh dengan nillai seni. Mereka menulis di atas batu, di atas kayu dengan peralatan yang tak terbayangkan di zaman yang modern ini, yang tidak akan kita temukan lagi, kecuali sebagai sesuatu yang langka. Bahkan sesuatu yang pernah menjadi kebudayaan di negara kita pada masa lampau ini bisa jadi sebuah keajaiban dunia untuk zaman ini. Nah, dari tulisan-tulisan yang dihasilkan dengan perjuangan dan bernilai seni tinggi itu, apa yang bisa dihasilkan untuk zaman sekarang ini? Tidak lain adalah apa yang kita sebut dengan keajaiban dunia tadi. Adalah aset yang sangat berharga bagi kelestarian bangsa kita. Inilah yang mampu berabad-abad mempertahankan keberadaan  kita sebagai bangsa Indonesia. Bangsa yang memiliki Borobudur, Prambanan, gedong Songo, dengan relief catatan sejarah, bangsa  yang memiliki prasasti prasasti di goa-goa, dan berbagai manuskrip kuno yang tidak dihasilkan di zaman modern ini. Kita dikenal karena adanya peninggalan-peninggalan sejarah tersebut. Kita mengetahui suku Jawa, suku Sunda, Bugis serta bahasa bahasanya, keseniannya, dan yang penting, aksara, adalah karena nenek moyang kitalah yang telah menuliskannya untuk diwariskan kepada kita keturunannya. Singkatnya,  kita dikenal karena kebudayaan luhur kita. Tapi sayang sungguh sayang, sekali lagi semua itu sudah tergantikan. Begitu terkagum-kagum kita manakala melihat manuskrip- manuskrip kuno, padahal mungkin sebenarnya dahulu manuskrip tersebut hanya berupa catatan harian belaka yang kurang berguna. Dan sekarang kita baru tersadar bahwa semua itu merupakan seni yang maha dahsyat. Sekarang, menulis menjadi momok yang mengerikan. Ketika mendapatkan tugas menulis berlembar-lembar, nyali menjadi susut. Akhirnya tugas-tugas seperti itu tidak kita temukan lagi. Seharusnya ini menjadi pertanyaan besar. Pernyataan seperti di atas sangat tidak logis dan bersifat menggampangkan. Yah, hanya karena dianggap sebagai momok mengerikan, ditinggalkan begitu saja sebagai sampah yang tidak berguna dan menjijikan. Artinya bangsa kita adalah bangsa yang takut menulis. Dalihnya adalah kemajuan teknologi, lantas bergantung begitu saja. Padahal teknologi jelas berbeda 180 derajat dengan seni  menulis tangan. Apabila teknologi menharapkan kemudahan dan kepraktisan, maka seni menulis tangan justru membutuhkan pengorbanan berupa kesabaran dan keuletan serta waktu dan proses. Itulah sebabnya mengapa mayoritas tulisan tangan kita menjadi jelek. Karena sejak lahir, kita dikenalkan dengan teknologi, dengan komputer, dengan budaya 'praktis' yang hemat tenaga. Tangan-tangan kita jarang dilatih menulis, karena sudah kadung terbiasa dengan tombol-tombol keyboard dan layar sentuh.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline