Lihat ke Halaman Asli

Shubuh Berbunga

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1342583957275479150

Jam dinding di ruang tamu itu tepat menunjukan pukul empat pagi. Namun sepertinya malu untuk berdentang keras. Riza sudah memasang posisi menghadap pada Tuhannya. Untaian malam sudah ditasbihkan dengan bijih-bijih air mata. Ia berterima kasih pada Tuhannya karena satu impian Riza sudah terpetik dari batang pohonnya. Riza sujud syukur dengan sepenuh tad’zim, adzan shubuh membuncah pagi sunyi. Ia bangkit menuju singgasana ayah bundanya, mengucapkan salam dengan lembut. Bunda Riza sudah tahu di balik pintu itu putranya sedang mengajaknya merangkau shubuh bersama-sama. Riza kembali bersimpuh mengulang asmaul husna. Usai shubuh Riza sujud syukur, kemudian mentartil senandung ilahi di lembah waqi’ah, lautan yasin dan di ketinggian al mulk.  Pukul 06.00 Kuliah akhlak tasawuf dimuali pukul 07.00. Riza perlu 15 menit bersiap di kelas. Perjalanan dari rumah ke kampus maksimal harus ditempuh selama 30 menit. Sebenarnya tidak sampai 30 menit jika ditempuh lewat jalan kecil yang hanya bisa dilalui sepeda atau kendaraan ramping lainnya. Sebelumnya Riza harus berjalan ke halte angkudes sejauh 10 menit. Artinya 15 menit lagi Riza harus sudah benar-benar meninggalkan rumah untuk menyongsong cita-citanya lewat Fakultas Adab yang ia masuki tahun ajaran ini. Ia putuskan sholat dhuha dahulu. Catatan kuliahnya tentang konsep baik dan buruk ia tutup kembali. Riza merenung. Banyak yang mengatakan baik atas sebuah perbuatan yang tidak berkemanusian. Banyak pula nilai-nilai kebenaran dan kemanfaatan justru dianggap kolot. Kalaupun nilai sudah berbalik seratus delapan puluh derajat, nyatanya mereka masih bisa membedakan antara yang menguntungkan, walaupun hanya untuk jangka pendek dan yang membawa kerugian. Semuanya kembali kepada pikiran subyektif, mengaburkan yang obyektif. Jadi sumber kehidupan ini hanya terdapat pada satu kata saja, yaitu “relatif”. Tentang keluarga Riza yang tak ber “philips” dan tak ber “tiga roda” itupun sebenarnya hati mereka laksana utrujah-utrujah yang bermekaran disirami hikmah yang selalu bersembunyi di balik kepelikan hidup. Seorang yang shaleh tidak lantas mengatakan berdosa kepada Epicurus, Syrenics atau Freud yang mengatakan bahwa perbuatan baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan nafsu biologis. Karena kelezatan akan muncul kalau keikhlasan sudah terpatri dalam setiap tingkah laku. Kenikmatan justru harus dicapai ketika berhubungan dengan yang Maha Pencipta dalam setiap ibadah. Dan jika organ-ogan fisik telah digunakan di jalan yang semestinya bukankah telah dijanjikan ganjarannya? Bukan sekedar kepuasan, tetapi kepuasan di atas kepuasan itu sendiri. Di depan kelas, dosen Akhlak Tasawuf hendak mengakhiri perkuliahan. “Tugas untuk minggu depan membuat makalah “tokoh-tokoh tasawuf dan alirannya minimal 20 halaman”. “Harus dijilid dan di ketik rapi!”, lanjutnya. Tidak ada komentar apapun dari mahasiswa. Riza memberanikan diri mengangkat tangannya. “Tidak bisa ditawar pak?” “Apa masalah kamu?” “Bagaimana kalau ditulis tangan saja, Pak? Selain lebih murah, hasil kerja kami bisa terlihat dengan tulisan tangan, sekaligus meminimalisir budaya copy- paste”. “Iya, tapi saya ingin pekerjaan kalian rapi, rata-rata tulisan kalian sulit dibaca, jadi saya minta diketik rapi.” “Itu berarti menghentikan kreatifitas vital mahasiswa. Bagaimana tulisan kita rapi kalau kita tidak membiasakannya?............Tidak ada salahnya Bapak mencobanya sekarang. Atau setidaknya bapak perhatikan mahasiswa yang terbatas aksesnya dengan komputer”. “Sudah. Kalian bisa memanfaatkan warnet atau rental komputer, kita sudahi pertemuan kita kali ini. Assalamu’alaikum?”. “Wa’alaikumussalam warohnatulloh wabarakatuh”, imbuh Riza.  Riza merasa harus memeras otaknya untuk mencari solusi memenuhi tugas dosen. Ia tidak bisa terima kalau setiap ada tugas ia harus merogoh kantongnya yang kering. Bismillahitawakaltu ‘allalloh… aku sudah berusaha ya Allah, berilah aku kekuatan untuk melakukannya. Beri hamba rezeki...... Riza buru-buru menuju ke arah perpustakaan. Empat buah buku tebal di tangannya harus segara dikembalikan. Dalam langkah terburu-buru ia mengeluarkan handphone-nya. Pukul 14.15. Gerimis mulai berlomba-lomba mencium bumi. Baru saja sampai di depan pintu perpustakaan, sederet huruf gothich berwarna hitam menghadang Riza, seakan sedang menantangnya adu kecepatan. Sudah terlambat. Hujan pun tak mampu lagi menahan gairahnya bercumbu dengan bumi. Riza terkepung. Hujan bergemuruh hingga Riza pulang jam 16.07. Basah kuyup.  “Kalau seperti ini terus, bisa repot kau nanti. Seandainya kau tinggal saja di pondok dekat kampusmu kau tak perlu berkorban waktu hanya untuk sebuah tumpangan angkot. Tapi darimana juga kamu tidak di rumah, siapa nanti yang bisa mbok suruh-suruh….. hhhhh…. Kamu bisa kuliah saja mbok kaya mimpi. Wong anak ndak punya kok bisa kuliah gitu. Sudahlah, Kamu jalani saja seperti ini, mudah-mudahan menjadi ibadah”. Kalau si mbok sudah bicara seperti itu, hati Riza hanya bisa tersenyum dengan rasa yang “nano-nano” antara bangga, sedih, dan pasrah. Tapi diam-diam Riza punya seutas tali untuk mencoba mengentaskan keresahan si mbok-nya. Mungkin sebulan lagi proposal beasiswa sepeda-nya akan membuahkan bunga mawar atau bunga matahari. Tapi Riza tidak terlalu bersenang hati. Embun-embun karuniaNya hanya ia tumpahkan di setiap sujud syukur yang lurus. Karena keterbatasan ekonomi keluarganya, justru membuat ia selalu berterima kasih kepada Tuhannya. Pungguk merindukan bulan tidaklah berlaku di keluarga Riza. Bahkan kakak Riza yang dulunya sudah pasrah jika harus menghentikan studinya setamat SMP, sekarang justru gelar ‘Sarjana’ sudah bersarang di dadanya. Hanya bermodal tekad yang kuat ternyata sang Maha Cinta menjawab doa Riza. Riza dipertemukan dengan seseorang yang kemudian membayarkan biaya masuknya ke perguruan tinggi.  Suatu malam di akhir pekan, terjadi pemandaman local. “Maha baik Tuhanku, Ia menghiburku lewat lilin kecil yang meliuk-liuk. Ia menghiburku lewat jangkrik malam yang tak rela jika malam lengang lekang dimakan peradaban. Tuhanku sedang mengajarkan cinta kepadaku…”. Riza menoleh ke arah bundanya yang pulas di atas dipan. “Dia tidak akan dapat tidur dengan tenang jika sekedar cahaya belum memayung di kamar buah hatinya. Maka aku tak boleh terlelap jika tak seorangpun terjaga. Nyala lilin yang redup itu tak boleh padam jika aku tak ingin ia gelisah dalam tidurnya. Tuhan, berikan aku kekuatan….”. Plap! Listrik kembali mengalir lewat jaring laba-laba mekanik. “Besok hari minggu, Kau tak ada kuliah Le? “Di rumah saja Mbok, biarpun libur, tugas menumpuk”. “Begitu? Maksudnya, si mbok belum ada uang selain seribu rupiah ini, kalau kau mau ke kampus, seribu rupiah tak cukup to? Ongkos angkot sekali jalan saja dua ribu rupiah. Ya, mudah-mudahan besok ada rejeki, senin kau bisa kuliah”. “Insya Allah, Mbok”, senyum ikhlas tersungging di bibir Riza. Listrik mendadak padam kembali setelah petir menggelegar luar biasa. Hujan beserta badai yang tak disangka akan datang malam itu mengamuk ingin menegur manusia yang lalai. Manusia pada malam itu seperti binatang melata. Penglihatan yang dihadang kegelapan semakin tak berdaya karena guntur yang bertubi-tubi menulikan telinga manusia. Di dalam gelap Riza masih melata. Dicarinya penerang. Ia berharap tangannya segera meraih senter atau handphone butut-nya. Lilin tak mungkin bertahan nyalanya di bawah atap rumah Riza yang rapuh. Di sana-sini air hujan menerobos masuk melalui sela-sela atap yang melapuk. Suara derit terdengar dari pohon-pohon yang tertampar badai.  Dan Senin itu benar-benar tak ada lagi selain seribu rupiah. Riza tak bisa lagi duduk manis di mobil angkudes. Tak hanya itu, setiap pagi Riza tak perlu lagi berlama-lama berada di perjalanan. Sebab baru pukul 06.37 saja gerbang kampusnya sudah terlihat. Biasanya jam sekian ia masih dihibur dengan tingkah penumpang angkudes yang beragam gayanya, ada yang lucu, konyol dan tentu menarik perhatian penumpan lainnya. Riza benar-benar merindukannya. Tapi kini roda kehidupan sedikit demi sedikit berputar. Riza mempunyai kebiasaan baru, memarkir sepeda barunya di tempat parkir khusus sepeda. Ya, setelah peristiwa pemadaman itu, minggu siang panitia beasiswa sepeda menghadiahkan buah kesabaran untuk Riza. Tamat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline