Bagi rekan rekan semua yang masa kecilnya pernah menjadi penggemar serial Rumah Masa Depan yang ditayangkan di TVRI barangkali kita termasuk golongan generasi yang sama. Generasi sederhana yang haru birunya perjalanan hidup sebagai anak bangsa menjadi saksi sejarah episode kehidupan kenegaraan Ibdonesia. Secara puitis kalau kita ditanya bagaimana rasanya menjadi bagian dari generasi tersebut pasti jawabnya setipe yaitu tak bisa dilukiskan dengan kata kata. Hehe... terlalu banyak kenangan mungkin ya. Baiklah yuk kita bernostalgia sebentar saja.
Bagi saya serial Rumah Masa Depan adalah sebuah cerita mendidik dalam balutan cerita yang dikemas secara sederhana dengan penggambaranhitam putih kehidupan secara jelas. Pun watak perilaku seseorang dalam kehidupan tergambar dengan paparan nyata tebtang budi pekerti yang elok maupun kurang elok. Saat serial televisi tersebut mampir tayang dirumah saya, kenangan televisi hitam putih dengan bahan penyala berupa aki setrum yang harus diisi ulang terpampang nyata.
Bisa dihit6ng dengan jari berapa orang warga didesa yang punya televisi dirumahnya. Bukan bermaksud sombong, tetapi saya menyukai suasana rumah saya yang ramai setiap habis Maghrib dan hari Minggu dan setiap hari Libur tiba. Menonton televisi beramai ramai adalah hiburan menyenangkan tersendiri. Apapun jenis tontonannya kami bisa mengGhibahnya atau bahasa kerennya bisa mereview langsung sesuai dengan pengalaman daya tangkap kami yang beraneka ragam sumber dayanya tetapi kebanyakan adalah kaum petani. Review jujur menurut saya.
Layaknya setiap episode di Rumah Masa Depan yang mengedepankan gotong royong, tidak egois dan tolong menolong sebagai bagian dari lingkungan maka pesan moral di serial tersebut langsung sampai ke khalayak. Perilaku kurang elok sebagai warga yang sombong, angkuh dan terkadang memunculkan sumber gosip tersendiri atau mungkin saat ini populer dengan Hoak akan dicela dan dibenci warga. Bagaimana disetiap serial ditampilkan tentang sosok yang dengan perilakunya yang tidak baik harus mengakui dan menyesal dengan perbuatannya.
Dan walhasil meminta maaf kepada yang terdzalimi adalah tanggungjawab yang dengan jelas dijadikan petunjuk agar terjadi keseimbangan lagi dalam norma bermasyarakat. Masih ingat dengan banyak cerita di serial tersebut? Seperti itu bukan. Bahwa manusia kadang lupa, kadang salah tetapi harus mau taat pada norma yang menjadi pedoman hidupnya. Beragama juga seyogyanya seperti itu. Saling asah aduh dan asuh. Tidak egois antar golongan.
Ali Shahab sebagai sutradara juga berhasil mendidik kita bagaimana berperilaku santun dan menyayangi anak yatim. Sangaji sang tokoh ditampilkan sebagai anak yatim yang menginspirasi. Pintar, tekun, pantang menyerah dan prestasinya membuahkan hasil yang membanggakan. Penampilannya membius kita penontonnya untuk menjadikan dia sebagai salah satu tokoh idola. Sungguh kenangan yang luar biasa.
Ramadhan ini saya terinspirasi kemasa lampau yang sederhana. Tetapi sarat makna yang luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H