Kalau diibaratkan seni kulineran, campur aduk gaya berbahasa mengingatkan saya pada jenis makanan yang diberi nama Magelangan. Nasi goreng dan mie goreng yang diramu jadi satu dengan bumbu dasar gurih yang sama. Nasi mawut, nasi gila kadang beberapa orang menyebutnya. Mawut, identik campur aduk semrawut tetapi rasa dilidah tak bisa bohong, enak banget.. pedas hangat dan mengenyangkan. Apakah bahasa campur aduk ala anak Jaksel juga terasa sedemikian rupa?
Kaidah berbahasa yang tidak sesuai dengan pedoman EYD maupun kaidah baku Berbahasa Indonesia ini , tercipta pada awalnya karena akulturasi budaya agar bisa menyelaraskan diri dan mengikuti bahasa Indohesia. Bule keturunan, WNA yang belajar berbahasa Indonesia pastinya tidak bermaksud apapun dalam tutur penggunaan bahasa Indonesia. Kalau kita menengok sejarah bangsa, orang Belanda dan Jepang yang berusaha menggunakan bahasa Indonesia untuk alat komunikasi sehari haripun akan terasa ada yang asing, aneh didengar. Tetapi lawan bicara akan tetap berusaha mahfum dan mengikuti. Coba bayangkan kata berikut ini ;
" saya orang tidak suka kamu orang kerjanya malas saja yaa ". .
Tidak beraturan tetapi kita paham maknanya. Atau trending gaya berbicara ala Cinta Laura yang konon tercipta dari kebiasaan berbicara sehari hari dengan kedua orang tuanya yang notabene salasatunya adalah bule dirumah mereka tinggal. Ditunjang dengan kegiatan usaha mereka sehari hari yang melibatkan warga lokal dan warga asing. Walhasil trending cuap cuap menghibur ;
"ujan becek, can not find Ojeg"
Menjadi viral karena ekspose media dan khalayak yang terhibur. Ada banyak yang meniru niru tetapi harus diakui gaya bertutur campur aduk ini terdengar lucu dan pasti menghibur.
Sebenarnya anak anak muda lokal juga terkadang mencampur adukkan bahasa Indonesia dengan bahasa daerahnya dalam logat berbicara sehari hari. Sebagai orang Jawa tentu saya sudah banyak disuguhi konten konten dengan penggunaan bahasa campuran ini. Untuk tujuan menghibur dan menampilkan keadaan apa adanya dari masyarakat sekitar kita tentu saja.
Hal ini tercipta karena warga yang dulu merantau dan mudik terkadang menggunakan vampur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa lokal kedaerahan.
Fenomena sosial yang nyata terlihat bukan? Jadi, tentu saja tidak ada maksud untuk mengubah kaidah baku dalam berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tetap akan terpelihara dan terjaga santun dalam acara resmi rapat mulai dari tingkat Desa / Kelurahan, Daerah Binaan Dharma Wanita, PKK dan berbagai acara anjangsana lainnya.
Pembawa acara juga pasti sudah beberapa kali mengikuti kursus kaidah berbahasa dalam membawakan dan mengawal acara sebagai bagian dari kegiatan bermasyarakat bernegara yang diselenggarakan mulai dari tingkat Kecamatan. Senada seirama dalam Berbahasa Indonesia.
Layaknya Magelangan, mienasi goreng mawut yang diolah jadi satu sebenarnya campur campur berbahasa hanyalah variasi di tempat dan area tertentu yang pada awalnya adalah agar mereka paham maksud dari kalimat yang diutarakan.