Lihat ke Halaman Asli

Mama Totik

Bincang Ringan di Ruang Imaji

Fortune Teller (1)

Diperbarui: 9 April 2016   13:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Illustrasi Sweet Silence Source : http://www.wallpaperpcmobile.com/"][/caption]Mayang berlari secepat kilat meninggalkan kelas begitu pelajaran sekolah usai. Baginya sekolah itu mirip penjara. Mengurungnya tujuh jam sehari lima hari seminggu. Kalau saja diperbolehkan ibu, dia pasti dengan senang hati memilih keluar. Lebih asyik bermain di sawah opa, begitu dia memanggil kakeknya, atau membantu ayah mengurus pabrik tahu miliknya. Tapi ibu selalu berkata, "Mayang anak ibu satu-satunya, harus sekolah setinggi mungkin. Jangan seperti ayah atau ibu yang cuma lulusan sma". Maka Mayang pun terpaksa menurut. Sebandel-bandelnya Mayang, dia tidak pernah melawan ibunya.

"Ibuuuu!"teriak Mayang sambil berlari-lari kecil menghampiri ibunya yang sedang merawat tanaman di persemaian bibit bunga milik Ibu. Ibu nampak melambai-lambaikan tangannya yg kotor oleh tanah. Mayang terus berlari lincah ke arah Ibu dan memeluk erat punggungnya. Ibu tertawa. "Ibu...ibu...apakah Ibu sudah menulis lagi?" tanya Mayang antusias. Nafasnya masih terengah-engah. Ibu menggelengkan kepala. "Kenapa? Bukankah Ibu bilang semalam mimpi itu datang lagi?" Mayang kembali bertanya. Ibu tetap menggeleng. "Tidak Mayang, Ibu tidak akan pernah menulis lagi. Ibu sudah bahagia hidup begini. Sekarang mandilah dan bersiap untuk makan siang. Ayahmu mungkin sebentar lagi jg pulang dari pabrik. Kita makan bersama" tegas Ibu berkata.

Mayang meninggalkan Ibu dengan wajah lesu. Hatinya sangat kecewa. Baginya berhenti menulis itu keputusan yang salah. Dengan menulis Ibu bisa berbuat banyak untuk orang lain. Ibunya, bukan penulis biasa. Orang sering menyebut Ibu sebagai fortune teller, peramal, penulis takdir atau kejadian yang akan datang. Bukankah itu sesuatu yang luar biasa? Opa Matsumoto bilang tulisan Ibu selalu diburu dan dinantikan mass media. Banyak juga para pesohor negeri yang mendatangi Ibu. Popularitas luar biasa. Sayang, itu semua hanya bisa didengar dari cerita opa. Ibu berhenti menulis sejak sebelum Mayang lahir. Ingin sekali rasanya Mayang melihat masa keemasan Ibunya kembali. Mayang selalu ingin membanggakan Ibu, seperti selalu dilakukan teman-temannya.
------------

Namaku Michiko, hanya itu. Mi artinya Cantik, Chi berarti Bijak dan Ko berarti Anak. Lahir dari ibu Jawa dan ayah bekas tentara Jepang yang tidak mau kembali ke negaranya. Sekilas orang tidak akan pernah menyangka aku separuh Jepang. Kulitku sawo matang, mataku lebar. Tidak seperti ketiga kakakku yang putih dan sipit. Tapi ayahku, Kiyonaga Matsumoto, paling menyayangiku. Mungkin karena aku bungsu dan anak perempuan satu-satunya.
Sejak kecil aku sudah merasa ada yang berbeda denganku. Aku sering bermimpi aneh yang sama dan berulang kali. Kata ayah, sewaktu kecil aku sering terbangun di tengah malam dan tidak tidur lagi hingga pagi. Aku sering merasa ketakutan atau marah tanpa sebab. Tapi tidak mau menceritakan pada siapapun. Sebetulnya bukan aku tak mau bercerita, tapi aku sendiri tidak tahu apa yang harus kuceritakan. Mimpiku? Bukankah semua orang juga bermimpi?

Ketika aku berusia 12 tahun, akhirnya aku tidak bisa membendung otak bawah sadarku. Suatu hari aku tiba-tiba mengambil secarik kertas, lalu menulis seperti orang kesurupan. Menulis tanpa berhenti selama tiga jam tanpa sedikit pun berhenti. Seolah tanganku dikemudikan oleh orang lain. Ketika tulisan selesai, aku membawanya kepada ayah. Beliau terbelalak membacanya.

"Kenapa menulis seperti ini? Dari mana kamu mendapat ide ini? Ini tulisan yang sangat detail,Michiko. Dari mana idemu? " ayah bertanya berulang." Dari mimpi mimpiku Ayah. Itu semua mimpi yang mendatangiku selama tiga hari berturut-turut". Ayah terbelalak. "Mimpi yang sama?". Aku mengangguk membenarkan. Ayahku kemudian pergi dengan membawa kertas tulisanku. Kata Ibu, ayah mengunjungi kantor redaksi koran setempat. Sore hari baru ayah pulang dengan wajah suram. "Mereka tidak mau memuatnya. Mereka malah menertawakanku. Tapi kupikir-pikir, benar juga, koran kan memuat berita berdasar fakta, dan bukan tulisan bersumber mimpi seperti ini" kata ayah. Aku diam. Hatiku sudah cukup lega bisa menuliskan semua isi mimpiku. Sebelum menuliskannya, aku sering dilanda sakit kepala yang hebat, jantung berdebar-debar dan hati selalu ketakutan.

Seminggu setelah kejadian itu, semua orang di rumah sudah mulai lupa. Demikian pula aku. Tiba-tiba, suatu hari ayah memanggilku ke ruang tamu. Di situ kulihat dua orang pria sebaya ayah.
"Michiko chan, masih ingat tulisan yang kau berikan pada ayah seminggu lalu?”Aku mengangguk. “Kau masih menyimpannya?" tanya Ayah lagi. Aku masuk ke kamar mengambil kertas tulisanku dan mengulurkan pada Ayah.
Beberapa saat kemudian kulihat ayahku dan dua orang pria tadi sibuk berbicara dengan nada pelan, nyaris berbisik. Wajah mereka sangat serius. Sekali dua kali aku ditanya. Pertanyaan biasa. Seputar dari mana aku mendapat ide menulis, kapan aku membuatnya, kegiatanku sehari-hari. Kemudian mereka meminta kami berfoto bersama.

Esok harinya ketika aku membuka koran pagi, barulah aku paham apa yang terjadi. Headline mencolok terpampang di halaman pertama "Kematian presiden sudah diramalkan oleh gadis cilik, Michiko". Di bawah headline, ada fotoku bersama ayah dan ibu. Di sebelahnya ada foto kertas tulisan tanganku. Ya, itulah yang kutuliskan di kertas. Kecelakaan maut yang mengakibatkan terbunuhnya presiden bersama seluruh keluarganya. Aku menuliskan dengan sangat detail hingga tanggal dan jam peristiwa itu terjadi. Semua tepat. Termasuk siapa saja yang ikut meninggal. Satu hal yang meleset, ada satu nama ajudan presiden yang ternyata selamat dan masih hidup meski terluka parah. Kontan hari itu semua orang geger. Namaku menjadi bahan perbincangan utama di mana-mana.

Tapi ternyata hal itu berakibat buruk bagi aku dan keluargaku. Ketenangan kami mulai terusik. Berbagai media dari segala penjuru negeri datang menemuiku. Orang orang berdatangan minta diramalkan nasibnya. Mereka tak peduli sekalipun Ayah menjelaskan bahwa aku hanya bisa menulis yang kumimpikan. Tulisanku terus dinantikan. Aku diminta tampil di televisi ini dan itu. Yang lebih parah lagi, segala hal yang berkaitan denganku terus menjadi konsumsi publik. Bahkan ada yg nekat menemui ibuku, meminta baju bekasku, potongan rambut, air bekas mandi dsb untuk jimat. Dan masih banyak hal tidak masuk akal lainnya. Publik betul-betul menggila.

Tapi di sisi lain aku sedikit merasa senang. Selain rasa sakit di kepala menjadi berkurang, mimpiku pun didengar. Tulisan tulisanku dibaca dan dinantikan. Kalau aku menuliskan ada jembatan di A akan roboh, maka pejabat tergopoh gopoh melakukan investigasi dan perbaikan. Kalau aku menulis daerah B akan terserang wabah penyakit, maka pasukan medis langsung bertindak. Aku benar-benar seperti pahlawan kecil bagi publik.

Sampai akhirnya terjadilah yang tidak kuduga. Aku menuliskan bahwa tiga buah pulau buatan milik seorang developer ternama akan hancur dilumat tsunami. Pengembang itu mengancam redaksi koran agar tidak menerbitkan tulisanku. Karena ditekan habis habisan, awak redaksi pun menuruti. Ayah sangat marah pada koran tersebut. Tetapi kemudian, ganti ayah yang diancam & diteror oleh developer tersebut. Karena merasa keadaan makin tidak kondusif, Ayah memutuskan membawa kami sekeluarga pindah jauh nun di pelosok desa. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Bagiku selama ini toh kedamaianku sudah terampas. Desa akan menjadi tempat yang lebih tenang bagi kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline