Lihat ke Halaman Asli

Siti Nur Rahmah

Freelancer

Kemajuan Teknologi: Antara Keterhubungan Digital dan Kehangatan Tradisional

Diperbarui: 12 April 2024   01:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi suasana Idul Fitri dibuat oleh penghasil gambar AI/dok.pri

Di tengah kemajuan teknologi yang kian merajalela, tersembunyilah ironi yang seringkali terlupakan: bahwa kemajuan itu sendiri kadang-kadang membawa kita ke degradasi moral. Perjalanan ini sering terlihat jelas saat kita merayakan momen-momen penting dalam kehidupan kita, seperti saat Idul Fitri tiba.

Sebuah perdebatan menarik muncul ketika kita melihat bagaimana teknologi telah memengaruhi cara kita merayakan momen-momen penting dalam kehidupan, seperti Idul Fitri. 

Dahulu kala, tanpa adanya ponsel pintar, kita melihat saudara-saudara kita bersilaturahmi dengan penuh kehangatan. Mereka saling berkunjung, bermaaf-maafan, dan berbagi kebahagiaan secara langsung. 

Namun, dengan kemajuan teknologi, tradisi ini tampaknya mengalami perubahan yang signifikan. Seakan-akan sebuah pesan di aplikasi pesan instan seperti WhatsApp sudah cukup untuk menggantikan kehangatan sebuah pelukan dan senyuman yang tulus. Kita hanya duduk menghadap layar gadget kita, mengetuk-ngetuk huruf-huruf di keyboard, dan mengirimkan kata-kata "Kami sekeluarga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin" tanpa harus merasakan/menunjukkan emosi yang sebenarnya.

Tentu saja, teknologi komunikasi telah memberikan kita banyak keuntungan. Kita bisa tetap terhubung dengan saudara yang berada di wilayah terpencil, bahkan menjaga komunikasi dengan mereka yang berada di belahan dunia lain, dan semua itu hanya dengan sekali sentuhan di layar. Namun, perlahan-lahan, kita mulai menyadari bahwa kemudahan ini juga memiliki sisi gelapnya.

Banyak dari kita mulai merasa bahwa kehadiran fisik bukanlah suatu keharusan lagi. Mengapa harus repot-repot datang jika kita bisa mengirimkan pesan singkat? Inilah ironi yang terjadi di tengah kita, terutama dengan para tetangga-tetangga kita. Padahal rumah mereka mungkin hanya di depan gang, di seberang atau bahkan di sebelah rumah kita, tetapi mereka lebih memilih untuk berkomunikasi melalui grup WhatsApp RT daripada berjumpa langsung.

Kita juga menyadari bahwa semakin majunya teknologi, semakin tipis pula alasan kita untuk menyambangi saudara yang hubungannya tidak terlalu akrab. Kita mungkin merasa bahwa menyapa atau mengirimkan ucapan lewat media sosial saja sudah cukup, tanpa perlu repot-repot berkunjung ke rumah mereka. 

Alasan lain pun bermunculan, seperti merasa canggung karena hubungan yang tidak terlalu dekat atau meninggalnya para orang tua tidak lagi memberi alasan untuk berkunjung atau mempertahankan tali silaturahmi dengan kerabat lainnya.

Di balik semua ini, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita benar-benar bahagia dengan situasi ini? Apakah sebuah pesan singkat di layar gadget bisa benar-benar menggantikan kehangatan sebuah pelukan? Bukankah kebersamaan dan kedekatan yang kita rasakan saat bersilaturahmi adalah yang membuat momen itu begitu berharga?

Tidak ada yang bisa menggantikan kehangatan dari interaksi manusia secara langsung. Melalui tatapan mata, senyuman, dan pelukan, kita bisa merasakan emosi yang sebenarnya. Itulah yang membuat silaturahmi menjadi begitu berarti dalam budaya kita, dan hal inilah yang mulai kita lewatkan dengan semakin tenggelamnya kita dalam dunia digital.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline