Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Kawin Gantung

Diperbarui: 14 November 2018   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: (Foto:banjarmasin.tribunnews.com)

Waktu itu aku masih berumur sekitar tujuh tahun ketika Ayahku mengawinkanku dengan Kang Darmin. Meskipun masih sangat kecil, aku ingat betul kejadian itu. Peristiwa itu begitu melekat di pikiranku.

Pagi itu, sekitar pukul delapan, aku didandanin layaknya seorang perempuan dewasa yang akan kawin. Wajahku dimake up sedemikian rupa. Bibirku dipoles lipstik merah menyala. 

Tubuhku dipakaikan kebaya warna putih dengan samping batik warna coklat. Kepalaku dipakaikan kerudung. Untaian melati digantungkan di telingaku. Sekilas aku seperti pengantin sungguhan. Kata orang-orang aku aku terlihat cantik waktu itu. Kalau ada kesempatan, Ingin sekali aku memamerkan fotoku waktu itu. Pasti terlihat sangat lucu.   

Keluarga pihak laki-laki sudah berdatangan. Tidak banyak, memang. Hanya kedua orang tuanya, adik-adiknya dan paman bibinya.   

Aku duduk di lantai, lesehan, bersejejeran dengan Kang Darmin calon suamiku. Kang Darmin ini anaknya H. Dasuki pemilik hektaran tanah di kampung kami. Mereka adalah salah satu keluarga kaya di kampung kami. Mungkin yang paling kaya diantara orang-orang kaya yang ada di kampung kami. Seperti telah menjadi kebiasan dan bahkan menjadi budaya orang-orang kampung kami, di Carenang Serang-Banten, menikahkan anaknya sejak mereka masih sangat kecil, bocah. Mereka seakan tidak rela hartanya yang melimpah itu jatuh ke tangan orang lain. Mereka ingin punya menantu atau besan yang juga orang kaya.

Kang Darmin umurnya sekitar 15 tahun ketika itu. Ia masih sekolah SMP. Aku ingat betul ketika Ia mengantarku ke sekolahku dengan sepedanya. Kebetulan letak sekolahku searah dengan sekolahannya. Ya akhirnya aku sering numpang bonceng di sepeda ontelnya setelah kami menikah.   

Keluargaku juga termasuk keluarga berada. Orang tuaku punya beberapa hektar sawah dan beberapa petak kebun. Mana mungkin H. Dasuki mau menjadikan aku menantunya kalau orang tuaku miskin. Pikirku. Tapi kalau dibandingkan dengan kekayaan keluarga H. Dasuki kekayaan orang tuaku masih di bawahnya.  

Suatu hari Ayahku memanggilku.

"Fitri, Anakku, H. Dasuki meminta besanan dengan keluarga kita. Inyaallah hari minggu depan kawinnya," katanya tanpa meminta persetujuanku dulu dan seperti tidak ada beban. Mereka menganggap aku masih piyik, bocah. Tidak perlu diminta pendapatnya.  

"Aku hanya diam saja sambil main masak-masakkan dengan temanku,"
Di sampingku Ibu ikut mendengarkan perkataan Ayah.

"Apa tidak sebaiknya tunggu Fitri selesai sekolah dulu Yah. Ya minimal lulus MTs. Ini kan Putri baru kelas dua SD."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline