Lihat ke Halaman Asli

Selendang Mayang

Diperbarui: 30 Oktober 2018   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: pixabay.com

Jika Anda ke Jakarta dan melewati Pasar Rebo Jakarta Timur, maka sekitar 8 kilometer dari sana Anda akan menemukan wilayah Condet. Anda akan menjumpai jalan raya Condet yang membelah wilayah ini. Di sebelah kanan wilayah condet Batu Ampar. Sebelah kiri Condet Balekambang. 

Dimulai dari RINDAM, tak jauh dari situ beloklah ke arah kiri. Anda akan menemukan Jl. Kayu Manis yang penuh polisi tidur. Sebelah kiri ada TPU, Tempat Pemakaman Umum.  

Jika diteruskan, pada akhirnya Anda akan bertemu dengan Jalan raya Condet yang tembus ke PGC (Pusat Grosir Cililitan). Jalan-jalan yang dilewati masuk wilayah kelurahan Balekambang, salah satu kelurahan di Condet.  Konon dulunya kelurahan ini salah satu cagar budaya Betawi. Tapi kini hanya tinggal kenangan.

Jika siang menjelang sore, jika Anda beruntung, Anda akan menjumpai seorang lelaki paruh baya dengan peci coklat di kepalanya, handuk kecil warna biru pudar di pundaknya, menyelampai,  sedang memikul wadah yang terbuat dari anyaman bambu. 

Ada tulisan di selembar kertas yang di laminating di rotan yang melengkung yang mempertemukan wadah bambu dengan pikulan itu "ES SELENDANG MAYANG BETAWI JADUL".

"Selendang mayang itu apa, mayang itu apa, terbuat dari apa?" Tanyaku melesat, melepas  keingintahuan kepada Abang tukang es itu suatu siang yang menggigit. Beruntung aku menjumpainya di jalan Pangeran selepas shalat Dzuhur. Aku pun cepat memberhentikannya.

"Yang ini" Abang pedagang berbadan kurus itu menunjukan jarinya ke kue warna warni, merah, putih, hijau berlapis seperti kue pepe yang berbaring di wadah semacam tempayan "terbuat dari sagu aren. Kalo pengen bagus, pake tepung ketan. Tapi biasanya kalo buat jualan seperti ini pake aren." Jelasnya sambil matanya mengerling.

"Kalo yang itu?" tanyaku sambil jariku menunjuk ke satu toples berisi cairan putih dan satu toples lainnya berisi cairan berwarna merah muda.

"Yang ini santan. Ini air gula." Kata Abang itu, sambil membenarkan posisi selampai atau handuk kecilnya yang nyampir di pundaknya.  

Aku merasakan wangi pandan menyerbu hidungku. Seakan menyeret-nyeretku agar cepat menikmatinya. "Aku pesan dua gelas, Bang." Kataku. Satu untukku. Satu lagi untuk anakku. Pasti dia senang.   

"Sejak kapan jualan Selendang Mayang, Bang?" Aku melempar tanya sambil memperhatikan ia menyiapkan pesanananku. Ia terlihat dengan cekatan menyayat-nyayat kue warna-warni dengan semacam sebilah pisau kecil tipis, entah terbuat dari apa.  "wah udah lama sekali. Mungkin sekitar tahun 90-an." Katanya tanpa menoleh. Ia bekutet [1] dengan kerjaannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline