Ahad, 29 Oktober 2000
Di Masjid Al-lshlah, di kaki Gunung Kuda aku duduk dengan melipat kaki jadi alas. Kaki menjadi beku terasa kaku seperti batu. Menunggu waktu memulai ijab qabulku. Aku teringat perjalananku tadi pagi.
Nan jauh di sebuah Kampung. Pagi masih ranum. Pandangan belum sepenuhnya bisa menangkap benda-benda dengan jelas. Cahaya listrik yang masih nyala cukup membantuku mengenali orang-orang yang ada di depanku. Aku bersiap menata diri, memantaskan diri. Menata fisikku, menata gemuruhya hati, memantapkan hati. Keluarga dan tetangga dekat juga sibuk menyiapkan diri untuk mengantarkanku ke kaki Gunung Kuda.
Mitsubishi Lancer GTI milik sahabatku terparkir gagah di depan rumahku, siap mengantarku. Kukenakan setelan jas biru dongker membungkus kemeja putihku. Di leherku melilit dasi biru muda. Di kepalaku bertengger peci hitam dengan tinggi 7cm. Kusemprotkan armani di tubuhku. Segar terasa kuhirup aromanya.
Setelah semua siap, kami pun berangkat, konvoi. Lancer yang kutumpangi meluncur perlahan di depan dengan percaya diri, mengimbangi laju kendaraan di belakangnya. Sementara kendaraan lainnya mengekor. Kami menuju kaki Gunung Kuda yang berada dekat perbatasan Cirebon-Majalengka. Perjalanan kami akan ditempuh sekitar 3 jam. Kami menyusur hutan jati dari arah Subang. Yang terlihat adalah berjejer pohon jati bagai pagar ayu yang menyambut tamu dan hamparan sawah berbaring menanti belaian mentari.
Setelah sampai, kami disambut ramah oleh tuan rumah. Ada panitia khusus yang melakukan penyambutan. Kami ditempatkan terlebih dahulu di sebuah rumah sebelum kami menuju masjid. Kami bersiap-siap: sarapan, membersihkan badan dan keperluan lainnya.
Di rumah itulah aku diberitahu oleh panitia bahwa akad nikahnya akan menggunakan bahasa arab. Denggg....kepalaku seperti kejedot tembok. Aku kaget bukan dibuat-buat. Karena selama ini saya menyiapkan akad dengan bahasa Indonesia. Dalam waktu singkat, saya harus menyiapkan diri akad dengan menggunakan bahasa arab. Padahal kalimat "saya terima nikahnya dan kawinnya...........binti .............dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas sepuluh gram dibayar tunai" sudah saya hapalkan jauh-jauh hari.
Untuk akad bahasa arab? Ooh...aku mesti tanyakan dulu kepada ustadz yang mendampingiku. Aku menghafalnya agar dihadapan wali dan keluarga calon istriku aku bisa mengucapkan dengan lancar.
Setelah terasa siap semua. Rombongan berangkat menuju masjid. Aku berjalan di depan diapit oleh seorang yang sepertinya disiapkan oleh tuan rumah untuk menemani langkahku. Dengan adanya orang yang menemani, langkahku semakin mantap menjejak inchi demi inchi tanah menuju masjid.
Di depan pandanganku, terihat gunung kuda berdiri gagah. Ia bukan kuda betina yang selalu diperah untuk diambil air susunya. Tapi ia kuda jantan yang gagah. Tapi suara ringkiknya menyiratkan kepedihan, bagai tangis pasien yang ditinggal saudaranya. Ada luka di tubuhnya. Di paha sebelah kiri terlihat luka sesetan yang darahnya masih menetes. Di perutnya terlihat luka menganga. Aku bisa membayangkan, ketika ia mengamuk, tiga, empat sampai lima orang bisa terpental.
Di dadaku bergemuruh seperti ada gelombang besar di lautan lepas. Bagaimana tidak, aku akan menghadapi sesuatu yang belum pernah aku alami sebelumnya. Aku melangkah perlahan bagai ksatria maju ke medan perang dan orang-orang di belakangku mengikuti langkahku seperti para prajuritku.