Lihat ke Halaman Asli

Menyegarkan Kembali Komitmen Kita kepada Tuhan

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita berefleksi, mungkin kita akan bertanya, apa pengaruh syahadat yang kita dengar sejak bayi dan diucapkan setiap saat ketika menjalankan shalat lima waktu dan diucapkan ketika akad nikah dalam kehidupan kita?

Mungkin kita tidak mudah memberikan jawaban.   Padahal setiap muslim, kebanyakan, pernah didengakan adzan dan iqomat di telinga kanan kirinya sejak lahir.  Dalam kalimat panggilan shalat tersebut, tersurat kalimat laillaha illallah wa asyhadu anna muhammadarusulallah, tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, suatu bentuk kesaksian dan pengakuan terhadap ke Esaan Allah dan mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya. Secara kritis kita bisa bertanya lebih lanjut, apa sesungguhnya yang mendorong kita untuk bersaksi adanya Tuhan yang Esa  dan memberikan pengakuan bahwa Muhammad sebagai utusan-Nya?Apakah memang kita telah memikirkannya atau hanya menyakini saja?

Dalam kehidupan hukum positif kita, seseorang yang berani bersaksi pada suatu perkara, dipastikan orang tersebut  yakin dengan sepenuh hati  dengan apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya.  Oleh karena itu, ia berani disumpah dengan nama Tuhan. Lalu apa modal kita ketika bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya?

Seorang filosof berfikir keras untuk sampai pada kesimpulan bahwa ternyata tuhan itu ada dan adanya bukan dari ketidakadaan. Atau kesimpulan bahwa  hanya ada satu tuhan karena kalau ada dua atau lebih bagaimana ia disebut berkuasa kalau dibatasi oleh kekuasaan yang lain atau bagaimana ia membagi kekuasaannya?  Para ilmuwan yang melakukan penelitian bertahun-tahun pada berbagai hal akhirnya ada yang mempunyai kesimpulan bahwa ada kekuatan supranatural di luar kemampuan manusia. Kesimpulan-kesimpulan tersebut membuat mereka yakin dengan kebenaran yang ditemukannya.

Lalu bagaimana dengan kita dan kebanyakan umat Islam?  Atas dasar apa kesaksian kita terhadap adanya Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya? Mungkin kita akan menjawab bahwa kesaksian kita terhadap adanya Allah yang Esa dan Muhammad sebagai utusan-Nya berasal dari al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia.  Kita hanya mengimaninya tanpa perlu berfikir lebih dalam.

Namun demikian, keyakinan kita terhadap adanya Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya mempunyai konsekuensi pada kehidupan kita. Karena kita yakin adanya Allah yang Kuasa, yang Maha Tahu, Maha Melihat, Maha Mendegar dan sifat-sifat lainnya, maka sesungguhnya kita tdak terlepa dari pantauan-Nya. Kita mempunyai keyakinan, Allah melihat apa pun yang kita perbuat setiap saat, Allah pun mendengar apa pun yang kita katakan bahkan sekalipun baru dalam hati.  Dan sesungguhnya semua perbuatan kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Jika kita benar-benar bersyahadat dan menyakini kekuasaan-Nya, apa masih mungkin kita akan berbuat yang dilarang Allah?  apa masih mungkin kita akan berbohong? apa msih mungkin kita korupsi? apa masih mungkin kita melakukan kekerasan terhadap keluarga atau orang lain?  apa masih mungkin kita akan berbuat tidak adil?  apa masih mungkin kita berlaku amoral?  Jika kita melalukannya, sesungguhnya kita sangat malu dan berusaha secepatnya menyadari bahwa kita telah melakukan kesalahan.

Sesungguhnya, setiap hari syahadat kita, kesaksian kita akan Allah dan Rasulullah, selalu diperbaharuhi melalui shalat kita.  Dengan demikian sesungguhnya kita setiap saat punya waktu untuk berefleksi terhadap prilaku kita dan selalu punya waktu untuk memperbaikinya. Semoga syahadat kita selalu menuntun kita pada perbuatan yang diridhoi-Nya. Wassalam.

Jogjakarta, 5 April 2013




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline