Lihat ke Halaman Asli

Hubungan Seks di Luar Nikah, Bolehkah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1295868562440488972

[caption id="attachment_87035" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Suatu hari saya ditanya seseorang tentang apa hukumnya hubungan seks di luar nikah? Waktu itu saya kaget sekali, saya berfikir ternyata masih ada pertanyaan seperti itu. Karena bagi orang yang beragama jawabannya sudah jelas, pasti tidak boleh dengan sederetan dalil-dalilnya. Tetapi bagaimana dengan hukum positif?

Saya jadi teringat kasus Ariel yang tak kunjung usai. Saya berfikir, apakah ada tarik menarik kepentingan kelompok agama tertentu satu sisi, sementara disisi lain lembaga hukum tidak mampu menunjukan letak kesalahan Ariel.Saya mencoba menelusuri munculnya pertanyaan seperti itu dengan bertanya sendiri. Apa yang salah dalam prilaku seks di luar nikah? Jika prilaku seks itu satu sama lainnya saling menyukai.

Sampai disini, hukum positif atau pemikiran logis tidak bisa memberikan alasan bahwa perbuatan itu salah. Karena pemikiran hukum positif dibangun atas dasar hak dan kebaikan individu. Jika tidak ada yang dirugikan bagi dirinya dan orang lain ia menjadi ”kebenaran”.

Lalu bagaimana dengan agama? yang saya fahami, pijakan agama tidak hanya pada hak individu tetapi pada nilai-nilai kemanusiannya juga. Selain itu, keteraturan dan keseimbangan alam menjadi dasar pijakannya. Kalau kita lihat, semua agama, yang saya tahu, tidak memperbolehkan seks di luar nikah. Dalam agama, prilaku seks hanya diperbolehkan melalui jalur pernikahan. Pernikahan tidak hanya menjadi lembaga legal untuk melakukan hubungan seks tetapi pernikahan juga sebagai bentuk nyata dari cinta kasih dua anak manusia.

KH. Hussein Muhammad dalam buku ”Keluarga Sakinah, Kesetaraan Suami Istri” menuliskan bahwa pernikahan menurut Islam merupakan akad/perjanjian yang dapat menghalalkan hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Al-Quran menyebutnya sebagai akad atau perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidzan).

Lebih lanjut Kyai Hussein berpendapat, mengutip Imam al-Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin menyebutkan paling tidak tiga tujuan nikah: Pertama, perkawinan merupakan ikhtiar manusia untuk melestarikan dan mengembangbiakan keturunannya dalam rangka melanjutkan kehidupan manusia di bumi.

Kedua, nikah merupakan cara manusia menyalurkan hasrat libidonya untuk mendapatkan kenikmatan dan menjaga alat-alat reproduksinya. Dalam mencapai kenikmatan seksual ini, kedua belah pihak harus saling memberikan kenikmatan dan kepuasan.

Ketiga, melalui perkawinan, hati laki-laki dan perempuan diharapkan menemukan tempat ketenangan. Melalui perkawinan, kegelisahan dan kesusahan hati mendapatkan saluran dengan menumpahkannya kepada pasangannya.

Dengan pengertian dan tujuan pernikahan tersebut, Islam memberikan wadah penyaluran seksual manusia, sebagai makhluk seksual, melalui pernikahan. Pemuasan, keberlangsungan hidup manusia dan ketenangan hidup menjadi alasan pentingnya hubungan seks dilakukan dalam wadah pernikahan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline