Lihat ke Halaman Asli

Potret Ulama Perempuan Pelayan Umat

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rinai hujan masih menghiasi pagi. Spanduk berukuran besar menjulang, basah. Tertulis dengan huruf cukup besar “Ulama Perempuan untuk Kemaslahatan Manusia” seakan menyambut peserta Seminar Nasional“Masa Depan Kemimpinan Ulama Perempuan” yang diadakan Rahima, sebuah organisasi yang mempunyai perhatian pada penguatan hak-hak perempuan di komunitas muslim Selasa (23/11).

Pohon-pohon besar menghijau, rindang seakan semakin mempertegasWisma Hijau, tempat seminar ini, nyaman untuk peserta. Mereka datang nan jauh dari pulau Madura, Jember, Bondowoso, Jombang, Kediri dan Lamongan. Sebagian lain dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta. Mereka kader-kader ulama perempuan dan orang yang mempunyai perhatian pada penguatan hak-hak perempuan.

Seminar Nasional sehari ini mengundang 8 narasumber yang dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama menghadirkan Nyai Afwah Mumtazah, Nyai Kokom Nur Komariah, Nyai Ida mahmudah dan Teh Neng Hannah. Mereka adalah alumni Pengkaderan Ulama Perempuan yang diadakan Rahima. Sesi ini dipandu oleh Masruchah, komisioner Komnas Perempuan. Sesi kedua mengundang Dr. Nurjanah Ismail, Dr. Nur Rofiah, Nohayati Kaprawi dan Dr. Nurhadi Abdul Fattah – Dirjen Bina Islam mewakili Prof. Dr. Nasarudin Umar. Sesi ini ini dipandu oleh Farha Ciciek, salah seorang pendiri Rahima.

Sesi pertama diawali dengan cerita tentang apa yang dilakukan Nyai Afwah di komunitas pesantrennya. Nyai Afwah Mumtazah, pengasuh pesantren putri Kempek Cirebon, datang untuk berbagi pengalamannya melakukan penguatan hak-hak perempuan di komunitas pesantren. Menurut alumni Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima angkatan pertama ini dalam makalahnya, pesantren adalah tempat yang pas untuk pengembangan pengetahuan bagi kesetaraan gender “keberadaan pesantren mempunyai peranan signifikan dalam pengembangan pengetahuan untuk gerakan keadilan gender dalam komunitas muslim, terutama pelopor bagi gerakan anti kekerasan terhadap perempuan”.

Menurut pimpinan pondok pesantren putri Kempek ini, ketimpangan dan kekerasan dalam rumah tangga mengalami peningkatan dari waktu kewaktu. Bahkan status sosial dan pendidikan yang tinggi seseorang tidak menjamin tidak melakukan pelecahan dan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan tidak sedikit pelecahan dan kekerasan terhadap perempuan itu didasarkan pada teks-teks keagamaan yang dipahami dengan kepentingannya.

Dengan persoalan perempuan seperti itu, peran ulama sangat strategis dalam mendukung gerakan stop kekerasan terhadap perempuan. Ibu Nyai yang pernah kuliah di UIN Sunan Kalijaga ini, melakukan penguatan hak-hak perempuan pesantren dengan pendekatan yang sesuai dengan budaya dan kebutuhan komunitasnya. Salah satu upaya yang dilakukan dengan melakukan penguatan ekonomi, pendampingan perempuan dengan memberikan waktu untuk curhat barbagai persoalan perempuan jamaahnya. Seperti yang dikatakannya “Peran Perempuan secara aktif mampu membuka peluang-peluang baru dalam pemberdayaan perempuan tidak hanya dalam KDRT, tapi juga ekonomi dan pendidikan”.

Selanjutnya, giliran teh Neng Hannah berbicara. Perempuan kelahiran Rangkas Bitung ini bercerita tentang pengalamanya menyuarakan gagasan kesetaraan melalui tulisan. Dalam makalahnya ia memulai tulisan dengan mengutip sebuah kalimat “Jika anda ingin mengerti dan dimengerti, menulislah. Jika anda bukan anak seorang raja atau pembesar, menulislah. Jika anda ingin menghormati dan dihormati, menulislah. Jika anda ingin menghargai dan dihargai, menulislah. Jika anda ingin dikenang dalam keabadian, menulislah” yang ia ambil dari Gus Inal dalam bukunya Bramma Aji Putra.

Dalam ceramahnya yang penuh semangat tersebut, teh Neng menyuarakan betapa pentingnya sebuah tulisan. Peradaban dikenang oleh gernerasi selanjutnya karena ada dokumentasi tulisan yang bisa dibaca. ”Peranan tulisan dalam sebuah peradaban manusia begitu signifikan. Karena tulisanlah ilmu pengetahuan bisa tersebar ke seluruh penjuru dunia. Demikian pula halnya dalam sebuah perjuangan yang tak kan mungkin dilakukan tanpa peranan tulisan.”

Pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan tak pernah terungkap ke permukaan jika tidak ada orang yang berani menyuarakannya. Peristiwa tersebut akan terkubur bersama waktu. Oleh karena itu, seruan alumni pengkaderan Ulama Perempuan Rahima angkatan II mendapatkan momentumnya. Apalagi jika melihat masih banyaknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan buruh migran Indonesia yang di Arab Saudi maupun negara tujuan TKI lainnya. Di akhir tulisannya, perempuan yang juga sering mengisi majlis taklim ini mengingatkan ”Agar perempuan terdengar dalam sejarah dan bukan pelengkap, maka perempuan hendaklah membangun kesadaran kritisnya sebagai manusia untuk selanjutnya mengabadikan dirinya dalam bentuk tulisan. Tulisan yang menceritakan diri dan pengalamannya. Menulis adalah menghamili diri dan melahirkan.”

Seminar yang dihadiri ratusan peserta dari berbagai daerah ini pun mengundang Nyai Kokom Nur Komariyah dari Garut. Perempuan yang juga seorang guru ini tergerak hatinya untuk menyebarkan informasi tentang kesehatan reproduksi di jamaahnya. Menurutnya ”Selainpenyuluhan dan advokasi tentangtidakbolehnyapernikahan diusia Dini, sayamelakukan pendekatandengantokohmasyarakat(ustad)....”.

Seorang ulama tidak hanya pandai membaca kitab kuning tetapi dituntut juga pandai membaca persoalan yang menimpa umatnya. Nyai Kokom melakukannya dengan segenap hati dan pikirannya.

Narasumber seminar yang lain adalah Nyai Hj. Ida Mahmudah. Ibu Nyai Pimpinan Pondok Pesantren Putri Darul Aitam Darussalam Blok Agung ini bercerita tentang pengalamannya melakukan pengajian jarak jauh dengan buruh migran Indonesia di Hongkong. Tema-tema yang diangkat seputar persoalan riil yang dihadapi oleh buruh migran. Misalnya, pertanyaan tentang boleh tidaknya shalat di kamar mandi, karena ada buruh migran yang dilarang shalat dan banyak lagi persoalan lainnya.

Perhatian yang besar Nyai asal Banyuwangi ini dalam makalahnya menyarankan pada ulama perempuan yang lain “Bagi ulama perempuan dan orang-orang yang punya rasa peduli terhadap nasib buruh migran perempuan, perlu adanya pendekatan baik secara individu atau kelompok untuk memberi gambaran kepada mereka (calon buruh migran) kemungkinan-kemungkinan resiko yang terjadi di tempat kerja......”.

Rinai hujan tak terlihat lagi. Peserta seminar masih semangat mengikuti cerita-demi cerita ibu nyai dari berbagai daerah ini. Tetapi waktu break sudah tiba. Setelah ada tanya jawab. Peserta beristirahat umtuk makan siang dan shalat dzuhur. Setelah itu dilanjutkan dengan sesi kedua. Semoga ulama perempuan betul-betul memberikan kemaslahatan bagi manusia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline