Lihat ke Halaman Asli

Kurban, Peneguhan Komitmen Ketuhanan sekaligus Kemanusiaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar

Laailahaillallah allahhuakbar alahuakbar walillahilhamdu

Gema takbir, tahlil dan tahmid menggemuruh diangkasa raya sejak kemaren malam. Ummat Islam menyambut Idul Kurban dengan mengagungkan, mengesakan dan memuji Allah Yang Maha Agung.

Jika pada Idul Fitri, kebahagiaan hari rayadibarengi dengan penyerahan Zakat Fitrahmaka pada Idul Adha diikuti dengan pemotongan dan pembagian hewan kurban kepada para dhuafa.

Ada kaitan erat antara komitmen kita kepada ketuhanan dengan komitmen terhadap kemanusiaan. Ada tuntutan sosial setelah kita melakukan ritualitas keagamaan. Sebagai contoh, dalam berimam kita diharapkan menjadi ihsan (mempunyai akhlak yang baik). Dalam shalat diharapkan kita mampu menganjurkan yang baik dan mencegah yang munkar. Dalam haji diharapkan menjadi mabrur, berprilaku lebih baik lagi. Begitu pun dengan ibadah-ibadah lainnya.

Dalam sejarah agama-agama non samawi, praktik pengorbanan (sesajen) sudah menjadi sesuatu yang biasa dilakukan. Dari yang bentuk makanan, hewan bahkan sampai manusia sekalipun. Prof. Dr. M. Quraish Shibab dalam bukunya “Lentera Hati”menyebutkan bahwa korban-korban dipersembahan kepada dewa-dewa. “Di Mesir misalnya, gadis tercantik dipersembahkan kepada Dewi Sungai Nil. Sementara di Kanaan, Irak, bayi-bayi dipersembahkan kepada Dewa Ball.”Tidak hanya di negara Timur Tengah. Praktik korban manusia juga dilakukan di Eropa Utara. “orang-orang Viking yang tadinya mendiami Skandinavia mengorbankan pemuka-pemuka agama mereka kepada Dewa Perang ‘Odin’”.

Dengan latar belakang sejarah yang demikian, kita bisa memahami sejarah kurban Nabi Ibrahim dengan mengorbankan putranya sendiri, Ismail, demi pengabdiannya pada Allah. Menurut Quraish Shibab, Nabi Ibrahim hidup pada abad ke -18 SM, suatu masa ketika terjadi persimpangan jalan pemikiran manusia tentang korban-korban yang masih berwujud manusia.

Kita bersyukur praktik kurban manusia sudah diganti oleh Allah dengan hewan. Suatu perubahan revolusioner tentang cara pengabdian manusia kepada tuhannya. Ibadah kurban merupakan salah satu manifestasi pengabdian seorang hamba kepada tuhannya. Bentuk lain pengabdian hamba pada tuhannya adalah dengan memberikan kebahagiaan kepada kaum dhuafa. Kepedulian kepada persoalan-persoalan kemanusiaan sesungguhnya merupakan wujud dari pengabdian kita kepada Tuhan. Karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan darah dan daging kurban yang kita potong, yang Allah butuhkan adalah ketaqwaan kita. Allah mengingatkan “Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaanmulah yang dapat mencapainya.”(QS. 22:37).

Ketaqwaan kepada Allah tercermin pada kemampuan kita menjalankan apa yang diperintah dan apa yang dilarang Allah. Kemampuan tersebut bisa terealisasikan dengan berupaya mengeliminir sifat-sifat hayawani (sifat kebinatangan dalam diri) sehingga kita mampu mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci. Sebagaiman makna qurban sebagai pendekatan diri seorang hamba pada Tuhannya. Wallahu A'lam Bishowab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline