Lihat ke Halaman Asli

Gerilya Melawan Raksasa

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_317389" align="alignleft" width="300" caption="stanleys-photo-gallery-pasar-malam"][/caption]

Raksasa itu ada dimana-mana.Di sudut-sudut kota, di peloksok kampung –kampung. Mereka menelan pedagang-pedagang kecil. Toko-toko kecil dipinggir jalan. Pedagang-pedagang pasar tradisional.Pedagang-pedagang kecil menjadi lumpuh, sekarat, pingsan lalu mati.

Demikian saya menggambarkan kondisi para pedagang kecil menghadapi ganasnya raksasa pedagang besar, supermarket, globalisasi. Sebuah pertarungan yang tidak seimbang sedang berlangsung. Yang satu besar dan kuat, yang satu lagi kecil dan lemah. Mereka sengaja dibiarkan bertarung tanpa pengaman. Kita hanya bisa menyaksikan tak bisa berbuat apa-apa. Menyaksikan ”si kecil” ditelan “raksasa”.

Pemerintah yang diharapkan menjadi pelindung, pembela masyarakat lemah malah menyetujui “si raksasa itu”meluluhlantahkan si kecil. Pemerintah sudah tidak punya lagi “gigi”. Mereka sudah terkena jampi-jampi, jadi lupa daratan dan lautan.Mereka hanya mengikuti saja apa yang diperintahkan raksasa-raksasa itu.

Pertama, pemerintah diminta untuk meninjau ulang aturan yang sudah ada (deregulasi), aturan yang masih mempunyai keberpihakan kepada masyarakat kecil, harus diganti dengan aturan yang memberikan akses bebas bagi pihak luar. Satu senjata pemerintah untuk melindungi dan membela masyarakat kecil sudah dilucuti. DPR pun dengan suka cita membuat aturan-aturan yang sesungguhnya telah mengkebiri peran negara utama untuk melindungi dan berpihak pada masyarakat banyak.

Kedua, pemerintah tidak usah lah mengurusi bisnis, biarkan swasta yang mengurusi “kepentingan rakyat”, kepentingan hajat hidup orang banyak. Pengelolaan air minum, listrik, minyak, jalan raya, parkir dan masih banyak lagi sumber-sumber negara yang mestinya dikuasai dan dikelola oleh negera untuk kepentingan rakyat diserahkan pada swasta (privatisasi). Mari kita lihat sudah berapa ratus BUMN kita yang sudah dijual?

Ketiga, tarung bebas (liberalisasi), biarkan pasar yang menentukan, mana yang layak bertahan mana yang tidak. Pengusaha dengan modal jutaan atau bahkan ratusan ribu rupiah harus menghadapi pengusaha yang bermodalkan milyaran atau trilyunan rupiah. Apa yang terjadi? Sudah berapa banyak toko-toko kecil bangkrut, sudah berapa banyak pedagang-pedagang kecil gulung tikar. Raksasa telah memangsanya. Dan pemerintah hanya bisa menyaksikan kejadian itu di depan matanya tanpa mampu berbuat apa-apa.

Gerilya Para Pedagang Kecil Muncul, serang dan bergerak. Demikian gambaran gerilya. Demikian juga gerilya yang dilakukan para pedang kecil. Muncul ditempat-tempat keramaian, lalu berjualan kemudian bergerak dan pindah ketempat lain. Fenomena ini bisa kita lihat tidak hanya di kota tetapi juga sudah merambah ke perkampungan.

Para pedagang kecil menjajakan dagangannya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari satu waktu ke waktu yang lain. Mereka biasanya berkelompok dan mempunyai tempat-tempat untuk berjulan. Misalnya, hari minggu pagi di wilayah ini, malam rabu di tempat itu dan seterusnya. Terkadang di halaman masjid-masjid juga menjadi salah satu lahan untuk berjualan.

Jika kita jalan-jalan minggu pagi di sekitar Taman Makan Pahlawan, kita akan melihat banyaknya para pedagang di tempat itu. Mereka dari pagi-pagi buta sudah mempersiapkan barang dagangannya. Tidak hanya pedagang pakaian tetapi juga ada pedagang berbagai makanan, mainan, peralatan rumah tangga sampai tanaman hias. Aku berpikir, mereka sedang bergerilya. Selagi “raksasa” masih tertidur. Terus bergerilya, terus berjuang pantang mundur meski pemerintah tak peduli. Ingat puisi heroik pujangga pelopor Angkatan 45, Khairil Anwar “AKU”.

Kalau sampai waktuku ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Selamat bergerilya. Wassalam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline