Lihat ke Halaman Asli

Layakkah Ahok menjadi Gubernur DKI?

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menanggapi kisruh isu SARA di Indonesia yang akhir-akhir ini mencuat seusai Pemilu, akhirnya penulis tergerak untuk membuat sebuah tulisan dari pemikiran dan pandangan pribadi tentang isu yang khususnya menyentuh tentang Agama.

Indonesia dikenal dengan ke-Bhinneka-an atau kemajemukan, hal ini dapat kita lihat mulai dari suku, agama, ras dan sebagainya. Namun, Indonesia adalah negara yang berasas pancasila yang bersatu dan berdaulat seperti pada sila ketiga Persatuan Indonesia. Indonesia bukanlah Negara Islam walaupun diakui bahwa penganut muslim terbesar di dunia adalah Indonesia dan sudah pasti juga agama terbesar di Indonesia adalah Islam 87,18 % dari jumlah penduduk Indonesia (Wikipedia, 2010).

Penjelasan di atas memberikan kita penerawangan bahwa pantaslah sebagian umat Islam mempertanyakan kelayakan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) memimpin daerah DKI Jakarta sebagai gubernur pengganti yang sebelumnya dijabat oleh Joko Widodo yang kini bukan lagi sebagai gubernur DKI Jakarta karena telah mundur dari jabatannya dan sekarang sebagai presiden Indonesia yang terpilih. Pertanyaannya adalah apakah pantas seorang non-muslim menjadi pemimpin di kalangan muslim?. Apakah haram hukumnya dipimpin oleh non-muslim walaupun dia mungkin lebih baik dari kaum muslim?

Menjawab pertanyaan tersebut tentu harus melirik dalil Al-Qur’an dan Hadits. Dalil Al-Qur’an yang dapat kita jadikan acuan yaitu diantaranya surah Ali imran : 28 dan Al Maidah : 51. Dalam terjemahan Indonesia ayat terakhir berbunyi :

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi walidengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali imran : 28)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin sebahagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Al Maidah : 51)

Sebelum kita menyimpulkan hasil tafsiran kedua ayat tersebut, marilah kita melihat ayat berikut:

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatandiantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (Al Maidah : 5)

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al Mumtahanah : 8)

Lantas bagaimana kita memaknai surah Ali imran : 28 dan Al Maidah : 51 yang secara harfiah melarang kaum mu’min untuk menjalin pertemanan dengan dan aliansi dengan non-muslim apalagi meminta pertolongan dari mereka? Apakah ini larangan mutlak atau situasional?

Memahami ayat tersebut secara mutlak akan bermasalah, alasannya yaitu makna harfiah surah Ali imran : 28 dan Al Maidah : 51 bertentangan dengan surat Al Maidah : 5 dan Al Mumtahanah : 8 yang justru mengatakan kebalikannya. Selanjutnya Nabi sendiri pernah menjalin aliansi dan meminta perlindungan non-muslim. Ingatlah kisah hijrah para Sahabat ke Abessina (Habasyah) yang saat itu diperintah olehseorang raja Kristen. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi pernah meminta perlidungan kepada non-muslim ketika di Madinah Nabi mempelopori pakta aliansi denagn komunitas Yahudi kota itu dalam bentuk Piagam Madinah. Bahkan secara personal Nabi bermertuakan orang Yahudi dari istrinya Sofiah binti Huyai. Bagaimana pula dengan Saudi Arabia, Negara yang tak mungkin berdiri tanpa sokongan dari imperialism Inggris untuk menghancurkan Khalifah Utsmaniyah pada awal abad 20? Bukankah semua itu termasuk kategori menjadikan non-muslim sebagai wali/pemimpin? Haram?

Menurut pandangan penulis ayat pengharaman tentang menjadikan non-muslim sebagai pemimpin atau aliansi berlaku untuk kalangan non-muslim yang nyata-nyata memerangi dan merugikan kaum muslim. Kaum muslim tidak boleh memilih pemimpin non-muslim dengan catatan pemimpin tersebut membawa dampak negatif bagi agama dan umat Islam.

Adanya demo besar-besaran dan anarkis tentang penolakan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta yang pernah terjadi belakangan dilakukan oleh ormas yang mengatasnamakan Islam adalah tidak lain karena isu SARA. Sudah tentu mereka itu terhasut oleh isu agama yang berkembang, baik itu dari media sosial ataupun pemberitaan televisi .

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (Al-Hujurat : 6).

Ayat di atas menjelaskan tentang pergaulan dalam umat Islam, peraturan bagaimana menghadapi berita yang dibawa oleh orang fasik. Ayat ini memberikan kita pelajaran bahwakita tidak boleh mudah percaya pada sebuah kabar/berita atau jangan hanya mempercayai penjelasan satu pihak. Kita harus mengetahui lebih dahulu kebenarannya sebelum mengambil tindakan, agar tidak ada pihak yang dirugikan dan pada akhirnya menyebabkan kita menyesal akibat tindakan kita. Di sisi lain, ayat ini memberikan penjelasan bahwa janganlah membawa kabar bohong/fitnah atau jangan menyampaikan sesuatu kabar yang belum jelas kebenarannya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah pernah berpesan kepada umat Islam untuk menjauhi prasangka buruk, karena prasangka buruk termasuk sedusta-dusta perkataan.

“Dari Abu Hurairah ia berkata telah bersabds Rasulullah, “jauhkanlah diri kamu dari pada sangka karena sangka itu sedusta-dusta omongan”, (HR. Mutaffaq Ilaih)

“Jauhilah sifat berprasangka karena sifat berprasangka itu adalah sedusta-dusta pembicaraan. Dan janganlah kamu mencari kesalahan, memata-matai, janganlah kamu berdengki-dengkian, janganlah kamu belakang-membelakangidan janganlah kamu benci-bencian. Dan hendakalah kamu wahai hamba-hamba Allah bersaudara”, (HR. Bukhori)

Penjelasan dari hadits di atas adalah buruk sangka hukumnya adalah haram. Dalam Islam disebut suuzan, kebalikannya adalah husnuzan atau baik sangka.

Menurut hemat penulis, alangkah baiknya jika kita tidak menyentuh hal-hal yang bersifat SARA demi terciptanya kerukunan beragama dan tetap menjaga persatuan dan kesatuan. Selain itu kita wajib tunduk terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukankah Negara telah menjamin tentang kebebasan beragama?.

Berikanlah kesempatan kepada Ahok untuk memimpin DKI Jakarta 3 tahun kedepan, bukankah selama ini track record beliau masih sangat baik? Dan jika memang beliau pada akhirnya tidak amanah dalam memimpin, marilah kita bersama-sama dalam suatu suara untuk menurunkan beliau dari jabatannya. Marilah kita mengawal demokrasi ini!!!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline