Mamang M. Haerudin
Masyarakat dunia berduka, atas terjadinya insiden penembakan di Charlie Hebdo, distrik 11, Paris, Perancis, tepatnya di sebuah kantor majalah Satire yang kerap memuat kartun cemoohan terhadap Nabi Muhammad Saw. Nahas, insiden ini menewaskan 12 orang, termasuk pemimpin redaksi Stephane Charbonnier dan tiga kartunis kawakan, Jean Cabut, Bernad Velhac, dan Georges Wolinski.
Umat Muslim, khususnya di Indonesia, tersulut emosi, mengutuk, dan ikut mengecam. Ada dua hal yang sedikitnya dipersoalkan; pertama, mengenai pembuatan kartun yang menghina Nabi Muhammad; kedua, mengenai pembunuhan sadis. Atas insiden ini tentu saja segala bentuk penghinaan dan intoleransi tidaklah dibenarkan atas dasar apapun. Apalagi atas nama Islam, agama yang rahmatan lil’alamin, agama yang mengasihi semesta alam.
Menghina Nabi
Insiden ini menjadi bagian penting dalam upaya pendewasaan sikap toleransi di antara umat beragama se-dunia. Menghina dalam bentuk apapun, disengaja atau tidak, bukanlah hal yang terpuji. Kita harus menjaga, berhati-hati, dan mawas diri untuk bisa menghindari hal-hal yang sensitif berkenaan dengan simbol-simbol agama.
Tak kalah penting dari itu, umat Muslim di seantero dunia mesti bisa menahan emosi dan amarah. Kita boleh saja marah atas segala tindakan yang meyudutkan atau menghinakan Nabi, tetapi bukan untuk mengabsahkan kekerasan dan intoleransi. Sungguh tidak dibenarkan, menyikapi kemunkaran dengan cara-cara yang lebih munkar. Maka, baik penghinaan Nabi dan pembunuhan adalah sebuah ketercelaan.
Untuk hal ini, perlu kiranya membaca buku karya M. Quraish Shihab yang berjudul Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih (2011) yakni tentang perlakuan Nabi terhadap tawanan Perang Badar saat itu. Ada 70 tawanan saat itu dan hanya dua yang dijatuhi hukuman mati, yakni ‘Uqbah ibn Abi al-Mu’ith dan an-Nadhr ibn al-Harits. Vonis hukuman mati itu dilakukan mereka telah melampaui batas dan dapat menjadi ancaman bagi kaum Muslim. Insiden ini (tawanan perang Badar) dengan insiden Charlie Hebdo memang berbeda tetapi spiritnya sama, terjadi penghilangan nyawa.Kemudian juga, konteks kedua insiden tersebut terjadi dalam konteks yang berbeda. Dulu zaman Nabi adalah zaman yang belum terdapat konstitusi atau hukum tertulis sebagaimana zaman modern seperti sekarang.
Oleh karena demikian, kita harus bersama mengutuk segala bentuk sikap intoleran dan kekerasan, baik penghinaan maupun pembunuhan. Tetapi kita juga harus bisa menahan diri biar hukum saja yang berbicara dan menuntaskan insiden ini semua.
Tegas dan Bijak
Diceritakan dalam sebuah hadis, suatu ketika para Sahabat hendak menghardik seseorang Badui, karena telah buang air kecil di pelataran masjid. Tapi Nabi justru mencegah mereka, dengan sabdanya, Da’uhu wahariqu ‘ala baulihi sajlan min ma’in fainnama bu’itstum muyassirin walam tub’atsu mu’assirin, “Jangan! Biarkan ia (menyelesaikan kencingnya). Cukuplah siram air kencing itu dengan seember air. Kalian diutus untuk memudahkan, bukan mempersulit.”
Dalam hadis di atas ketegasan dan kesantunan Nabi terlihat jelas. Nabi tidak marah, apalagi melakukan kekerasan kepada seorang Badui tersebut. Di sini tersirat bahwa Muslim mesti selalu menjaga prasangka baik (husnudhon). Ada kalanya seseorang melakukan keburukan, karena mungkin dia memang tidak mengerti. Atau kalau pun di sengaja, kita tak diperkenankan membalasnya dengan keburukan yang sama. Balaslah keburukan dengan kebaikan.
Lebih dari itu, anugerah dari Tuhan akan keberagaman—suku, adat, bahasa, agama, dan lainnya—di negeri dan dunia ini, yang sejak lama dijaga dan dipelihara oleh founding father, harus kita lestarikan dan jaga keajegannya, jangan sampai mengendur dan semakin nampak keterpecah-belahannya. Ironisnya, Muslim sebagai pemeluk agama mayoritas di negeri dan dunia ini, justru paling sering melakukan tindak onar dan kekerasan. Mana mungkin Islam menuntun umatnya untuk melakukan tindak kekerasan dan intoleran? Meneriakkan lafadz-lafadz ketuhanan hanya untuk menebar kebencian, merusak rumah ibadah agama dan kepercayaan orang lain, meneror, mengintimidasi, dan apalagi sampai melakukan tindak pembunuhan.
Saya teringat dengan salah satu maqalah Muhammad Iqbal—salah seorang filsuf muslim besar asal Pakistan—yang menyatakan: “Manusia yang semakin dekat kepada Allah akan semakin kreatif, mencintai ilmu dan arif, karena Tuhan adalah Mahakreatif, Mahamengetahui dan Mahabijaksana.” Umat Muslim juga acap kali gegabah manakala memaknai tuntunan Islam tentang ‘amar makruf nahi munkar’. Saya rasa, tuntunan amar makruf nahi munkar tidaklah menjadi monopoli umat Muslim belaka. Karena itu, amar makruf nahi munkar adalah tuntunan universal yang diajarkan oleh setiap agama dan kepercayaan yang lain. Ia sudah menjadi fitrah manusia untuk menyerukan kebaikan dan mencegah keburukan. Hanya saja dengan catatan, bahwa beramar makruf sepatutnya dengan cara-cara yang makruf, sebagaimana bernahi munkar dengan cara yang makruf.
Islam adalah agama kebaikan. Kebaikannya akan terjaga bersama Al-Qur’an dan umatnya yang konsisten menebarkan kebaikan-kebaikan ajaran Islam. Senekat apapun orang melakukan tindak kekerasan dan intoleran atas nama Islam, Islam akan terjaga, Islam akan tetap mulia, dan karenanya orang tersebutlah yang justru akan menjadi buruk dan terlaknat akibat ulahnya.
Gus Dur (Alm. KH. Abdurrahman Wahid) juga memberikan pencerahan kepada kita sekalian, bahwa kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah. Saya ingin ingin melanjutkan, kita pun butuh Islam yang merangkul, bukan Islam yang memukul. Kita butuh Islam yang mengasihi, bukan Islam yang membenci. Kita butuh Islam yang mengapresiasi, bukan Islam yang mendiskriminasi. Kita butuh Islam yang pluralis, bukan Islam yang rasis. Wallahu’alam bis-Shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H