Saat kamu menemui ada kesalahan di bukumu, kamu bisa menghapusnya dengan correction pen atau penghapus. Tapi, kalau ada coretan dihati, bisakah kamu hapus luka itu?
Beberapa kali, ibu mertuaku menorehkan luka di hatiku, bahkan saat anak sulungku kecil, sering sekali aku dan anakku mendapatkan makanan basi. Dan itu jelas sekali disampaikan padaku. "Ini makan dulu, buat kamu, anakmu juga suamimu. Ini sayur basi, cepat dimakan".
Awal menerima perkataan itu, aku begitu kaget. Karena semiskin-miskinnya orang tuaku, aku tidak pernah makan sayur atau makanan basi.
Tapi mertuaku, orang yang hanya nemu aku, yang tidak pernah keluar uang dan tenaga untuk membesarkanku, justru melakukannya. Aku merasa terhina. Ingin marah dan kutumpahkan sayur itu di wajahnya. Tapi aku tidak mungkin bisa melakukan itu.
Aku cuma diam, tanpa perlu menjawab. Suamiku begitu marah, karena kami diperlakukan seperti itu. Padahal ada banyak sayur dan lauk baru dan enak, yang layak untuk dimakan.
Bertahun-tahun, setiap kali suami mengajak ke ibunya, tawaran makan sayur basi masih diberikan, hingga akhirnya, aku perlu memaksa suamiku untuk menolaknya.
Benar, akhirnya suamiku pun marah pada ibunya. Begitu juga anakku, dia berkata kalau makanan basi itu dibuang, bukan untuk diberikan orang. Jangan hina kami terus dengan sikap seperti itu. Itu kata-kata suamiku dan anakku pada mertuaku. Tapi aku cuma diam, karena luka yang aku terima terlalu pedih untuk diceritakan.
Waktu berjalan, perkataan suamiku pada ibunya adalah akhir dari ibunya memberikan lagi makanan basi.
Luka itu sudah berlalu, tapi masih terasa pedihnya. Namun dendam bukanlah jawaban untuk dilakukan.
Karena luka itu tak bisa dihapus, maka jangan pernah melukai hati siapapun. (AS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H