MENGEMIS DIKEABADIAN
"Kekuasaannya membentang dari timur ke barat laksana ia mengikat mata hari diantara kedua tanduk di topi jeraminya" Memanglah akan kagum melihat 'gelas yang di basahi air karena cemerlang beningnya tawaran keabadian' lalu 'mutiara yang tumbuh di bumi emas yang diselimuti jubah penyesalan.
Sementara aku sendiri...
Entah sampai kapan aku tidak peduli, dengan penuh harap duduk di pojok gerbang mengemis mengharap derma, dicela para penduduk bumi.
Alangkah hausnya kerongkonganku, diatas puing-puing ini biarlah aku mengambil giliranku, mengagumi kilauan Air di dalam api dari tembikar yang terbakar ketika dahulu di rampas Namruz di negeri Babil sebagai simpanan sejak zaman moyang para nabi.
Duhaaaai.... Betapa kini! Lemah lunglai gemeretak tulang belulang ini seperti kayu-kayu salib yang berserakan di tepian pantai ketika sang Penghijrah datang, berlalu pulalah kebelakaan angan-angan itu ; Jika tahu kita hanya hendak menangisi yang maklumnya tiada, sejak semula lebih baik meratap mengemis kepadanya yang maha hidup bukannya meratap mengemis pada yang akan hancur binasa.
Menangislah sejadi jadinya jika engkau mau menangis dan merenungi...
by
Abdurohman As Sani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H