Pertamina Mandalika International Circuit (PMIC) adalah harapan baru bagi Indonesia dan NTB dalam membangun pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sport tourism. Namun dewasa ini PMIC menghadapi sejumlah tantangan. Alih-alih menjadi pendorong ekonomi, PMIC malah kesulitan mengembangkan keunggulan sirkuitnya.Minimnya animo komunitas balap dan wisatawan yang hadir atas keinginan menikmati wisata berbasis olahraga menjadi indikator bahwa sirkuit ini masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Event MogoGP diakui memberi dampak positif, namun sesaat setelah itu, okupansi kembali turun (SuaraNTB, 2024).
Akibatnya, para pelaku ekonomi di Mandalika kesulitan untuk mengembangkan bisnis secara berkelanjutan. Tulisan ini membahas mengapa sampai saat ini PMIC belum memberi dampak terhadap sport tourism di Indonesia, sekaligus mengingatkan stakeholder bahwa strategi yang dijalankan berpotensi ke arah yang berlawanan terhadap tujuan PMIC.
Kami mengarahkan pemikiran kritis kepada proyek strategis nasional super prioritas, yaitu Pertamina Mandalika International Circuit (PMIC). Proyek ambisius tersebut menelan biaya lebih dari 2,49 triliun rupiah (CNNIndonesia, 2022). Tujuannya adalah menghasilkan episentrum ekonomi baru dengan konsep sport tourism (ITDC, 2019).
Injourney Tourism Development Corporation (ITDC) sebagai penanggungjawab kawasan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika dalam 3 tahun berhasil membangun platform kawasan sport tourism yang terbilang baru di Indonesia. Hasilnya perlu diapresiasi, Indonesia mampu membangun sirkuit yang indah di tepi pantai Kuta Lombok, dan berhasil terlibat dalam agenda MotoGP selama 10 tahun ke depan. Prestasi itu diharapkan memberi dampak signifikan bagi pendapatan daerah, sekaligus memajukan prestasi Indonesia di bidang otomotif.
Namun kemegahan proyek tersebut dirasa belum membawa arus positif terhadap perekonomian secara struktural. Sumbangan industri pariwisata belum bisa membawa masyarakat NTB lepas dari jeratan ekonomi berbasis ekstraktif. Penelitian Hania Rahma menjelaskan melalui pengukuran Natural Resource Curse, fenomena kutukan sumber daya alam terjadi di sejumlah provinsi termasuk NTB.
Kebijakan Salah Arah
Untuk membuktikan penelitian Hania terjadi di NTB kita dapat mengupas naskah Rencana Pembangunan Daerah (RPD) NTB, dimana rencana pembangunan masih kental dengan paradigma lama, yaitu mengandalkan SDA dan infrastruktur sebagai strategi pembangunan. Peningkatan kapasitas masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan pariwisata dirasa belum dipikirkan secara mendalam, sehingga kemampuan komunal dalam mengembangkan bisnis sport tourism sulit terjadi.
Bila kita merujuk Rencana Pembangunan Daerah (RPD) NTB terhadap rencana pengembangan KEK Mandalika yang mengusung tema sport tourism, maka kita perlu khawatir bahwa strategi yang dilakukan pemda setempat mengarah ke jalur yang berbeda. Strategi RPD NTB berbunyi (NTB, 2023):
Destinasi pariwisata prioritas di Provinsi NTB seperti KEK Mandalika dapat menjadi magnet untuk berbagai event internasional dan Meeting, Incentive, Convention and Exhibition (MICE). Targetnya adalah peningkatan kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara.
Pendekatan tersebut dinilai sangat tidak merepresentasikan visi KEK Mandalika sebagai pusat pariwisata berbasis olahraga. Pengembangan MICE akan menghasilkan infrastruktur sentris baru yang akan mengenyampingkan visi mulia PMIC. Padahal, PMIC lebih membutuhkan strategi bagaimana membidik wisatawan untuk melakukan aktivitas fisik di Mandalika. Atau mengundang wisatawan sebanyak mungkin untuk menyaksikan event olahraga (selain MotoGP tentunya).
Atau juga membidik wisatawan yang mengapresiasi narasi atau cerita tentang olahraga, seperti museum olahraga atau bertemu para tokoh-tokoh olahraga ternama (Gibson, 1998). Pengembangan MICE akan menimbulkan tantangan atau malah masalah baru, apalagi dua provinsi terdekat sudah memiliki infrastruktur MICE yang memadai, yaitu Bali dan NTT (Labuan Bajo).