Lihat ke Halaman Asli

Djoko Mundur dan Sisi Negatifnya

Diperbarui: 27 Desember 2015   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah Dirjen Pajak yang ditinggal mmengundurkan diri salah seorang pejabatnya, kini Dirjen Perhubungan Darat juga ditinggal undur diri oleh yang menjabatnya. Adalah Djoko Sasono yang memutuskan untuk undur diri dari jabatannya di Dirjen Perhubungan Darat. Mundurnya Djoko dilatar belakangi oleh ketidak mampuan/ kegagalannya dalam mengatasi masalah kemacetan transportasi darat.

Ada satu hal yang menarik untuk saya tuangkan dalam tulisan ini, yaitu mundurnya pejabat tinggi seolah olah hal yang gampang dan di persepsikan oleh beberapa kalangan publik sebagai tindakan yang membanggakan, jujur, dan pandangan positif lainnya.

Memang sikap mundurnya Djoko patut kita apresiasi, betapa tidak, ketika ia merasa gagal dan tidak mampu lagi menjalankan tugas dan fungsinya, dengan sendirinya ia memutuskan untuk melepaskan jabatannya.  Sungguh sikap besar yang mungkin jatang kita temukan.

Akan tetapi apakah mundurnya Djoko Sasono ini merupakan hal yang cukup bisa di terima oleh kita sebagai masyarakat? Setiap orang tentu punya pendapat masing-masing.

Mundurnya seorang pejabat publik bagi saya juga memiliki dampak negatif, terutama seputar pemerintahan. Ada beberapa pendapat saya terkait hal tersebut.

Pertama, mundurnya seorang pejabat publik ditengah tugas dan pekerjaan rumahnya yang masih banyak seolah menggambarkan betapa mudahnya lepas diri dari tanggung jawab. Seorang Dirjen Perhubungan Darat tentu memiliki tugas yang berat, apalagi kita tahu bahwa dunia transportasi darat di negeri ini begitu banyak permasalahannya. Lantas apakah karena tidak berhasil mengatasi kemacetan dan merasa gagal menjalankan tugasnya bisa begitu saja lepas diri dari tanggung jawab ? Padahal di jabatan yang di sandangnya, melekat pula pekerjaan rumah transportasi kita sekaligus harapan masyarakat untuk meningkatkan kualitas perhubungan darat yang keberadaannya sangat dibutuhkan masyarakat luas.

Menyelesaikan pekerjaan sampai akhir nampaknya lebih baik dibandingkan harus undur diri, meskipun itu juga patut di apresiasi.

Kedua, dengan mundurnya seorang pejabat seolah menggambarkan bahwa tidak ada sanksi yang harus di hadapi kendati ia telah menyatakan tidak mampu dalam menjalankan amanah yang tengah di embannya, cukup mundur maka persoalan lepas dan beralih kepada orang lain tanpa sanksi yang harus di hadapi. Rasanya harus ada kondekuensi yang harus di tanggung oleh mereka yang berhenti di tengah jalan, terlebih karena alasan tidak mampu. Bukankah ia mengambil suatu peran karena ia merasa yakin mampu memerankan dirinya?

Ketiga, dampak lain dari sikap mundurnya pejabat karena ketidak mampuan dirinya adalah efek domino yang kemungkinan akan terbangun. Maksud saya begini, untuk mengejar hasrat jabatan, seseorang bisa saja mengambil jabatan tertentu, asalkan ia berani, lantas ketika di tengah jalan ia merasa "kelelahan" tinggal pergi saja dari arena kapan pun ia mau. Ini tentu berbahaya bagi penyelenggaraan negara. Seorang pejabat dituntut agar mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal, pergantian jabatan akan memperlambat pencapaian tujuan, karena prosesnya memerlukan waktu, adaptasi bahkan bisa saja merubah strategi.

Saya sepakat bahwa masyarakat mengharapkan kemacetan segera diselesaikan, tapi saya juga percaya bahwa permasalahan kemacetan atau masalah lainnya memerlukan waktu dan juga tenaga yang banyak untuk menyelesaikannya, bahkan mungkin harus berkali kali terjadi estafeta kepemimpinan sampai masalah itu terselesaikan.

Apapun masalahnya haruslah di selesaikan sampai akhir, karena itu adalah tanggung jawab dan harapan rakyat yang sekaligus melekat dalam jabatan yang di sandangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline