Lihat ke Halaman Asli

MULYONO-MULYANI

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cerpen mamaks

MALAM semakin larut, hawa dingin berhembus dari arah daerah berawan, mungkin di sana sudah hujan. Lampu di sekitar rumah joglo itu menyala semua namun suasana sepi setelah sejak sore ditingkahi orang membaca doa. Satu persatu pelayat meninggalkanrumah itu untuk beristirahat, mengumpulkan tenaga menjelang pemakaman besok siang.

Jenazah itu disemayamkan di ruang tengah, Bu Mul siang tadi meninggal mendadak pada usia 65 tahun. Perempuan bermuka bulat dan selalu senyum itu kini nampak tetap dalam senyum di pembaringannya di dalam peti.Pada badannya dikenakan gaun putih berenda, kainnya bercorak parangrusak – sesuai sifatnya yang sigap dan mrantasi – dan selop hitam yang biasa ia pakai. Pakaian itulah yang sering ia kenakan kalau sedang memimpin rapat-rapat di tingkat RT atau RW. Ia memang aktivis tidak saja di gerejanya tetapi juga di lingkungannya, apalagi kedua anaknya sudah mentas, tinggal jauh di kota besar.

Pagi nanti diharapkan anak lelakinya sudah datang naik kereta api malam sedangkan anak perempuannya siang tadi sudah tiba naik pesawat terbang. Jika kedua anaknya sudah lengkap, jenazahnya akan segera dimakamkan. Hari sudah lewat tengah malam, dua petugas keamanan kampung duduk di depan rumah, mengobrol sambil minum kopi. Di sekitar peti jenazah sudah tidak ada lagi orang yang berdoa. Beberapa pemuda main catur di pojok ruangan, merekalah yang menandakan adanya kehidupan di ruang tersebut.

Mulyono, suami almarhumah mendusin setelah beristirahat di kamar. Dengan mengenakan sarung dan baju lengan panjang ia keluar kamar. Ia mendekati peti di tengah ruangan, menatap jasad istrinya yang nampak begitu cantik. Ditariknya kursi, ia duduk, kedua tangannya menjangkau pinggiran peti. Kain kasa putih yang menutupi peti itu disingkapnya sehingga nampak dengan jelas wajah istrinya. Diusapnya wajah itu, terasa dingin namun menimbulkan kenangan masa lalu.

“Dik Mul, kau ingat bagaimana kita bertemu?” tanyanya dalam hati. “Saat itu kita sama-sama ikut mapram, masa orientasi menjelang kuliah. Ketika senior kita memanggil nama Mul, kita berdua sama-sama maju. Kamu pakai baju putih lengan pendek, pipimu bergincu, rambut dikuncir dua, membawa keranjang sampah dan sapu lidi…. Ah maaf ya, ketika itu saya melihat kamu jelek sekali!

“Ingat nggak? Ketika kita sama-sama maju, senior galak itu langsung menghukum kita. Tangan kiriku diikat dengan tali yang diikatkan ke tangan kananmu, dan tidak boleh dilepas sampai acara hari itu selesai! Kau tahu, saat itu saya jengkel sekali – soalnya, jujur saja saat itu aku lagi naksir Arin, temanmu he he he.

“Begitu acara sore itu selesai, kamu buru-buru melepaskan tali dan meninggalkanku tanpa omong apa pun. Aku tahu kau marah waktu itu sebab seharian kita hanya berdiam diri saja, walau aku tahu beberapakali kamu melirikku. Tali itu tanpa sadar saya masukkan tas, dan tali itulah yang mempersatukan kita. Ketika sepuluh tahun kemudian kita bertemu di Jakarta dan sama-sama sudah bekerja, aku jadi kesengsem padamu. Dan tali itu kutemukan dan kuperlihatkan padamu sebagai pembuka hubungan kita ….. Ah bagian ini pernah saya ceritakan padamu.”

Mulyono memegang tangan kiri isterinya, dingin. Ia mengelus-elus tangan itu, tangan yang selalu ia remas ketika pacaran. Ia membayangkan bagaimana bentuk tangan itu ketika diikat tali dihubungkan dengan tangan kanannya. Namun hingga beberapa lama ia tidak berhasil mendatangkan bayangan itu. Maklum saat itu terjadi ia dalam hawa marah, ia tidak bisa mengingatnya lagi.

“Sejatinya, aku tidak tahu apakah aku mencintaimu ketika itu. Maaf, itulah yang sejujurnya. Ketika kita jumpa lagi di Jakarta, saya sedang terombang-ambing karena ditinggal Arin. Dia bilang aku tipe orang yang tidak cepat mengambil keputusan, “lelet”, mengulur waktu dan sebagainya. Makanya ketika aku semakin dekat denganmu dan gelagatnya kamu pun suka padaku, langsung aku melamarmu. Sebenarnya itu hanya pelampiasan atas kekecewaanku pada Arin. Aku ingin menunjukkan padanya bahwa aku bisa mengambil keputusan dengan tegas dan cepat. Jadi apakah aku menikahimu karena mencintaimu, aku tidak tahu……

“Yah, ini aku ceritakan padamu, biar hatiku plong, tak ada ganjalan lagi. Itu memang rahasia yang belum pernah aku sampaikan padamu, aku takut mengecewakanmu. Toh akhirnya kita menikah hingga 40 tahun dan berjalan baik-baik saja. Anak-anak kita kelihatannya bahagia juga, satu jadi dokter, satu lagi jadi dosen, lumayan khan? Rasanya kita sudah pernah sepakat, dalam perkawinan bukan cinta yang mutlak diperlukan, tapi kasih.Kau pernah bilang, dengan kasih kita bisa saling murah hati, gampang memaafkan, kasih membuat kita sabar, kasih membuat kita siap berkorban, dan kasihlah yang membuat perkawinan kita hingga akhir hayat. Bukan begitu Dik Mul?”.

Seekor lalat tiba-tiba datang dan hinggap di hidung almarhumah, Mulyono segera menghalaunya. Lalat itu pergi tapi kemudian kembali, mendengung di telinganya membuat ia harus mengibas-kibaskan tangannya di sekitar telinga kiri. Gerak refleks ini membuat ada rasa sakit di dada kirinya, seolah ada jarum yang menusuknya. Ia pun mengambil nafas panjang beberapa kali, dan rasa nyeri itu pun berangsur hilang.

Mulyono baru dua minggu lalu keluar rumah sakit, kata dokter ada penyumbatan di jantungnya dan perlu dipasang cincin untuk melonggarkan peredaran darahnya. Istrinya sudah mendesak agar operasi segera dilakukan, kalau perlu jual piano tapi Mulyono menolak. “Hanya piano ini yang bisa kita wariskan kepada anak-anak Dik. Kita sudah diwarisi rumah oleh bapak almarhum, apa yang kita wariskan kepada anak-anak kita?” begitu ia berkilah. Mulyani ketika itu diam saja, selama ini memang hanya piano itu saja yang bisa meramaikan rumah, menghibur mereka. Dan operasi pun ditunda, menunggu tabungan cukup.

“Maafkan Dik Mul, mungkin kamu kecapekan merawatku sehingga engkau pergi terlebih dahulu. Kamu selama ini terlihat sehat dan trengginas, aku tidak mengira jantungmu lebih parah dariku. Terus terang, aku jengkel jika kamu mencelaku kalau aku mengeluh atas penyakitku. ‘Dilawan dong Mas, jangan dinikmati!’ begitu engkau selalu mengatakan yang saya rasakan sebagai ejekan. Sekarang lihat, engkau jarang mengeluh tapi harus pergi terlebih dahulu.

“Jika dipikir ulang, banyak kekecewaan yang kupendam selama 40 tahun kita menikah. Maaf, sebaiknya aku curhat sekarang sebelum kamu meninggalkan rumah ini, agar yang hidup maupun yang pergi bisa lebih tenang menjalani masa depan.

“Kamu terlalu dominan di rumah ini padahal akulah kepala rumah tangga. Ini yang terkadang membuatku tak berharga di depan orang lain. Selama ini aku memendamnya dan itulah yang menyebabkan kita jarang bertengkar karena aku selalu mengalah. Itu yang membuat kita selalu dijadikan contoh sebagai pasangan harmonis. Padahal kejengkelan itu sering meletup-letup dan hampir tak terkuasai.

“Satu contoh yang tidak pernah aku sampaikan padamu tapi bagiku sangat membekas. Suatu ketika ketika sepulang kantor aku menjemputmu di kantor kecamatan, tiba-tiba tanpa minta izin atau katakanlah memberitahuku lebih dahulu, kamu berjanji mengantarkan Bu Ida pulang. Padahal rumahnya bertentangan arah dengan rumah kita. Lagi pula ketika itu aku sudah punya rencana segera pulang dan menggarap pekerjaan kantor yang tersisa. Terus terang Dik Mul, saya marah besar ketika itu namun saya tahan dan tidak bisa meledak karena sesampai rumah sudah ditunggu tamu. Kejadian itu saya tahan sampai kini - sederhana tetapi sungguh menorehkan luka di hati ini.

“Saya melihat, kamu kurang sabaran sehingga keputusanmu sering tidaktepat. Kita pernah membicarakan hal ini. Saat itu kamu berkilah, lebih baik ambil keputusan walaupun salah daripada tidak mengambil keputusan. Saya tahu, kamu mengutip kalimat Mario Teguh di televisi. Yah, ambil keputusan kalau salah khan rugi!”

Mulyono meletakkan kembali tangan istrinya, menyusun kedua tangan dengan rapih, merapikan baju putih yang dikenakan isterinya. Matanya menatap sekeliling peti, mencari lalat yang kini terdengar mendengung lagi. Lalat besar itu kini hinggap di tiang rumah, Mulyono menatapnya dan akhirnya matanya menyisir joglo peninggalan ayahnya itu. Rumah itu masih kokoh, empat tiang dari kayu jati menopang bangunan yang mengerucut di tengah itu. Di sinilah keluarganya dilahirkan, ia dan saudara-saudaranya, bapaknya dan semua saudaranya, mungkin juga kakek atau neneknya, turun temurun. Akhirnya Mulyono kembali memandang wajah isterinya.

“Saya jadi ingat, setelah Dik Mul saya perkenalkan pada orangtuaku di rumah ini, malam-malam ayahku memanggil. ‘Mul, temenmu itu orangnya keras lho, sudah kamu pikir masak-masak? Apalagi usia kalian sebaya. Kamu tahu, kenapa Bapak makin tua makin banyak marah? Beda umur kami 6 tahun tapi Bapak seusia ini masih kuat sementara ibumu masuk usia 55 tahun sudah tak bergairah lagi! Coba pikirkan lagi!’

“Tentu saja aku menolak argumennya karena cinta itu memang mengalahkan logika. Tapi ternyata apa yang dikatakan Bapak itu benar. Kamu orangnya keras dan akhirnya dominan. Pada masa tua, kamu semakin kurang memperhatikanku. Hampir setiap malam kamu tidur terlebih dahulu dan mengorok begitu kencang dengan air liur yang meleleh di bantal. Sungguh pemandangan yang tidak nyaman. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa memelototi televisi tanpa tahu apa yang ditayangkan, menunggu datangnya kantuk berat.

“Sebenarnya semua itu menyiksaku Dik Mul. Terus terang, hingga 5 tahun kita menikah, hatiku terkadang masih bimbang, benarkah engkau jodohku? Namun pertanyaan itu selalu aku tutup dengan kenyataan bahwa kita sama-sama percaya apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak bisa diceraikan. Namun setelah kedua anak kita lahir, pertanyaan itu tak pernah muncul lagi. Yang ada hanyalah keindahan. Jujur saja,semakin berumur kamu semakin menarik, semakin cantik dan semakin matang, apalagi kalau lesung pipitmu kamu perlihatkan ….. ah!”

Mulyono beringsut mengecup dahi istrinya, meraba wajahnya, pipinya, hidungnya, matanya, alisnya, dan juga telinganya yang beranting berlian peninggalan ibunya. Di matanya, tiba-tiba Mulyani tersenyum manis.

***

“MAS Mul, sudah minum obat?

“ Terima kasih, Mas Mul sudah berterus terang padaku sebab selama ini aku selalu bertanya-tanya pada diriku: apakah aku sudah melayani suamiku dengan baik? Kini aku tahu kekuranganku, maafkan aku ya Mas.

“Bagiku tidak masalah, apakah Mas Mul mencintaiku atau tidak. Sejak pertama bertemu, apalagi kemudian tangan kita diikat menjadi satu, aku sudah tertarik padamu. Hingga beberapa hari bahkan sampai kita ketemu lagi di Jakarta, aku masih sering membayangkan wajahmu. Begitu aku tahu bahwa Mas Mul berpacaran dengan Arin, aku memilih mengundurkan diri.”

Mulyono melihat isterinya duduk manis, tetap dengan pakaian putihnya, wajahnya memancarkan sinar lembut meneduhkan. Ia berbicara dengan tetap tersenyum.

“Sejak kecil orangtuaku menanamkan pengertian bahwa kelahiran, jodoh, dan kematian, itu misteri Tuhan. Jadi ketika Mas Mul mengajakku menikah, aku tidak mempersoalkan apakah Mas benar-benar mencintaiku ataukah pelarian. Aku percaya dengan pepatah ‘witing tresno jalaran kulino’, jika kita berkomunikasi dan bertemu terus maka rasa kasih itu akan tumbuh dengan sendirinya. Buktinya bapak-ibuku yang menikah tanpa kenal terlebih dahulu karena dijodohkan orangtua, toh bahagia dan berlangsung hingga akhir hayatnya.

“Kalau aku boleh berterus terang Mas, apa yang dikatakan Arin itu benar. Mas Mul tipe orang yang terlalu lama berpikir untuk mengambil keputusan. Maafkan jika kemudian aku nampak lebih dominan. Ini benar-benar bukan karena aku punya ambisi untuk dominan – aku sering tidak sabar menunggu keputusanmu.

“Kalau boleh jujur, ada rasa kecewa terhadap Mas Mul. Saya membayangkan Mas Mul yang saat kukenal berwajah teduh itu akan melindungi, mengayomi, dan membimbingku. Yang aku dapatkan, Mas Mul yang kurang memiliki ambisi, lelaki yang selalu ragu-ragu, dan bapak yang kurang tegas kepada anak-anaknya. Itu yang mungkin membuatku nampak sangat dominan di keluarga kita.

“Mas ingat ketika Denok dilamar Ari tapi Mas Mul tidak juga memberikan keputusan sehingga anak kita mengancam akan kawin lari. Itu sebenarnya tidak perlu terjadi kalau mas Mul cepat mengambil keputusan. Saat itu aku sangat kecewa, kenapa sih seorang dokter Mas anggap tidak layak menikah dengan pedagang? Buktinya mereka kini bahagia khan?

“Satu lagi yang perlu Mas camkan, menurut saya Mas selalu bimbang mengambil keputusan pada hakekatnya karena tidak berani ambil resiko. Nah, giliran saya yang ambil keputusan, kalau kebetulan salah – sepanjang masa Mas ungkap dan cela. Ini yang paling saya tidak suka! Kenapa sih hal yang sudah berlalu harus diungkap-ungkap lagi? Bisakah kita benar terus? Ah maaf Mas, saya jadi emosi.”

Di mata Mulyono, istrinya saat itu begitu cantik, apalagi kalau lagi emosi, menggairahkan. Ketika masih pengantin baru, begitu istrinya mulai marah ia justru mendekapnya, menciuminya, dan membawanya ke tempat tidur. Hal itu berakhir ketika anak-anak lahir dan semakin menyita waktu mereka. Maklum ketika itu istrinya juga bekerja, dia sendiri menjelang malam baru tiba di rumah.

“Mas, kalau Mas tanya apa yang paling mengecewakanku adalah keputusanmu untuk pindah ke rumah ini. Mas kayaknya tidak mempertimbangkan pengorbananku. Mas cabut lingkunganku, Mas hiraukan keluargaku yang semua tinggal di Jakarta, dan Mas nisbikan kebanggaanku mendapatkan penghasilan sendiri. Mas benar-benar telah menghabisiku!

“Apalagi alasan pindahnya sangat tidak modern, melestarikan rumah peninggalan nenek moyang! Mas ambil pensiun dini, Mas minta saya berhenti bekerja, Mas korbankan kebahagiaan kita untuk sebuah rumah tua yang lebih banyak biaya perbaikannya daripada kenyamanannya”.

Mulyani menangis, disekanya air mata dengan tangannya yang berselubung sarung. Mulyono mau menanggapi, kenapa hal itu baru dikatakan sekarang? Namun keburu istrinya berkata, “Ingat nggak Mas, seharian aku pergi menemui ibuku tanpa memberitahumu. Mul ke rumah ibu, mengadu. Ibuku orang Jawa kuno, ia memberi nasihat, ‘Nduk, kulawarga iku aja digawe serik, jalaran mundhak ringkih adeging kulawarga, keluarga jangan dibikin sakit hati sebab dapat menyebabkan lemahnya hidup kekeluargaan. Pergilah Nduk, istri harus mengikuti kata suami.’ Kata-kata ibu itulah yang menyebabkan aku terpaksa mengikutimu.”

Mulyono tercenung, ia ingat betapa suatu hari istrinya menghilang seharian setelah diajaknya berbicara tentang rencananya untuk pindah ke Jogya, melestarikan peninggalan orangtua. Waktu itu ia hanya menghitung, di Jogya biaya hidup lebih rendah dan penghasilan panen peninggalan ayahnya pasti mencukupi untuk hidup dan menyekolahkan kedua anaknya. Ia mengambil keputusan itu setelah kedua adiknya menolak balik ke Jogya padahal ayahnya sudah berpesan agar ada yang memelihara peninggalan leluhur. Ia tidak menyangka Mulyani mengikutinya dengan sangat terpaksa.

“Dulu, sebelum bapakmu melamar aku, bapakku juga mengingatkan hal yang sama tentang kesebayaan usia kita. Tapi karena aku mencintaimu, itu tidak saya perhitungkan, Mul yakin Tuhan pasti memberi jalan. Bahwa akhirnya memang demikian, ya maafkan Mul Mas. Terus terang sering muncul ketakutan engkau akan kawin lagi atau berselingkuh namun selalu berhasil saya yakinkan diriku sendiri bahwa itu tidak akan terjadi. Bahwa Mas Mul selama ini merasa sudah ‘berselingkuh’ dalam pikiran, saya bisa mengerti. Mul memang jelek Mas tapi mencintaimu. Maafkan Mul.”

Mulyono tercenung sedih, ternyata walau sudah 40 tahun menikah, ia belum sepenuhnya mengetahui isi hati istrinya. Mengapa rahasianya dibawa mati?

“Kenapa kamu tidak berterus terang Dik Mul?” gumamnya.

“Sudahlah, lupakan Mas. Kita sudah saling mengerti, kita sudah saling tahu kekurangan dan kesalahan kita sehingga tidak ada lagi beban di antara kita. Kita sudah selesai”. Tangan kanan Mulyani meraih tangan kiri suaminya dan tiba-tiba seutas tali mengikat kedua tangan itu. Mulyono bermaksud mendekap isterinya, tubuhnya makin condong masuk ke dalam peti, ia pun terbatuk dan kemudian terdengarlah suara keras keluar dari tenggorokannya.

Para pelayat, anak-anak muda dan petugas hansip yang berjaga di halaman depan terkejut dan berlarian mendekati peti jenazah. Denok, anak kedua pasangan itu segera keluar dari kamar dan menghampiri ayahnya. Dokter itu pun segera memegang nadi di pergelangan ayahnya, kemudian menjerit kencang.

Mulyono pergi bersama Mulyani, tanpa beban. ***

mamaksutamat@gmail.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline