Lihat ke Halaman Asli

Kemandirian Itu Perlu..

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari ini saya belajar dari tiga kasus nyata dalam hidup saya. Dua menyangkut putri sulung dan putra bungsu kami dan satu menyangkut putra tunggal orang tua/ wali mahasiswa saya. Sebagai orang tua sering kekhawatiran kita membuat kita menapikan logika di sekitar kita. Tidak yakin kesiapan anak maju bertanding orang tua cemas, atur ini itu, beri wejangan sana-sini, yang pada akhirnya anak menjadi terbebani saat maju bertanding. Sering saya mendampingi putri saya dalam lomba puisi, terakhir bulan lalu (alhamdulilah mendapat juara II sejabotabek) banyak pelajaran yang saya ambil. Tapi intinya saya selalu mewujudkan dukungan moril bagi dia, mulai mempersiapkan materi puisi yang saya sajikan dalam potongan karton yang rapi dan simpel. Sehingga ketika bertanding dia mudah memegangnya, memilihkan baju, merapikan rambutnya, mendengarkannya latihan puisi, memberikan masukan, ritmenya selalu saya jaga dalam suasana menyenangkan. Terakhir saya yakinkan dia yang penting maju dan berani, jika menang itu adalah bonus. Oh! indahnya ketika logika berjalan.

Pun demikian dengan putra bungsu kami, tapi alangkah sulitnya. Ketika si bungsu ini harus ikut ujian masuk SD. Betapa saya harus berulangkali mengatakan pada diri saya agar percaya pada kemampuannya. Entah! selalu rasa khawathir itu mengalahkan logika . Dengan cemas saya mencari jalan untuk menjembatani semua yang saya kira “kekurangan” dia . Menelpon gurunya di sekolah, mencari tahu tipe soal yang diujikan dan menyampaikan ke sekolah, hingga mendatangkan guru di rumah. Berhari-hari tanpa sadar masalah ujian ini selalu saya selipkan dalam obrolan kami. Ketika lewat di jalan raya, saya suka tunjuk papan reklame atau spanduk memintanya membaca, jika dia terlihat ogah-ogahanan (barangkali karena bosan) langsung kalimat-kalimat sakti yang intinya kekhwatiran saya kalau dia tidak lulus ujian masuk. Hingga hari H dia maju ujian saya tetap khawatir, saya ajak bapaknya sambil menunggu di luar ruanganuntuk membaca zikir dan doa memohon kemudahan baginya. Sepertinya doa itu lebih kepada menenangkan hati ini sendiri. Dua hari kami suami istri ‘melayani’ jagoan kecil ini untuk menyemangatinya maju ujian. Siang tadi saya menerima sebuah amplop putih tebal berisikan hasil psikotes dan surat pemberitahuan lulus seleksi,,, alhamdulilah. Satu saran berupa catatan dari koordinator psikologi yang saya simak “Meningkatkan kemandirian dalam aktifitas sehari-hari, misalnya mencoba mandi sendiri, memilih pakaian dan berpakaian sendiri, menyiapkan alat-alat sekolah, memilih mainan/buku, memasukkan bekal makanan ke dalam tas sekolah, dll. Pengalaman berhasil memenuhi kebutuhan dirinya akan memotivasi ananda untuk mencoba hal yang lain, sehingga ketergantungan pada orang dewasa pun akan berkurang”. Apa komentar jagoanku ketika kusuruh membaca “kok, bisa tau ya Mi”,,, ?! tanyanya heran, karena saran itu belum pernah dilakukannya sendiri.

Sorenya pada hari yang sama, saya terhenyak membaca email dengan subjek ‘Pemberitahuan’ yang saya terima dari seseorang yang mengatasnamakan orang tua mahasiswa bimbingan skripsi saya. Pada email itu dengan sopan beliau mengutarakan sebagai orang tua atau wali akan menjawab pertanyaan saya tentang tabel database dan atribute dalam tabel yang diusulkan putranya dalam skripsi. Tiga kali saya baca email ini berharap saya salah baca dan berharap email ini dari mahasiswa saya bukan orang tuanya. Tapi jelas tertulis di sana …”demikian pemberitahuan dari saya, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih, wassalam, orang tua/wali, ttd, (Nama ibunya). Masih dengan gelengan kepala saya layangkan balasan untuk beliau,

“Aslmkm, Terima kasih ibu/bpk atas email-nya, sayang jawaban ini sebenarnya yang saya inginkan dari XX, bukan dari bapak/ibu (maaf). Karena sebelumnya saya sudah memancing ybs dengan pertanyaan yang menjurus ke jawaban bpk/ibu tapi tetap tidak bisa dijelaskan. Tujuan saya agar XX dapat menguasai program yang dia usulkan. Mengapa harus bpk/ibu yang menjawab? Saya tidak melihat urgensinya (maaf sekali lagi). Sebagai pembimbing saya ingin mahasiswa saya siap maju ujian, dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul di ujian. Jadi tolong biarkan XX sendiri yang menyampaikan jawabannya ke saya, bu. Sebagai seorang yang nantinya lulus bergelar S.Kom mulai sekarang hendaknya dia mandiri. Walau saya tidak menampikan kekurangan yang ada pada dirinya. Sejauh ini sudah cukup baik dan dengan penilaian itu saya sudah daftarkan untuk ikut ujian dan tolong jangan rubah penilaian saya dengan email bpk/ibu seperti ini. Sebagai pembimbing saya masih berhak membatalkan ujiannya. Kalau memang XX tidak siap maju saya tidak akan memaksakan dirinya. Demikian mohon maaf jika balasan email ini membuat bpk ibu tidak nyaman. Karena yakinlah maksud saya baik agar mahasiswa saya siap ujian, bukan orang tuanya yang siap ujian. Salam Hormat,,,"

Dalam hati berkecamuk pikiran dengan kondisi si bungsu sekarang ini apakah berbelas tahun ke depan aku tidak melakukan hal yang sama buat puteraku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline