Lihat ke Halaman Asli

Kesaksian Malinda tentang Kartu Kreditnya

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13028224152074136097

Akhirnya Malinda bersedia diwawancarai. Dia datang tepat waktu di tempat yang sudah kami sepakati bersama. Tampaknya dia baru saja selesai berbelanja. Berikut ini adalah catatannya. Sumber foto: Di-resized dari power of speech

Saya memiliki Kartu Kredit pertama saya ketika menjadi mahasiswa di negara adi daya. Sebagai penyandang beasiswa, tentu saya perlu wadah untuk melakukan transaksi bank. Monthly stipend disalurkan via bank. Sepertinya universitas saya itu dimonopoli oleh satu bank, dan hampir semua mahasiswa baru, terutama apa yang dikenal dengan international student, dapat dipastikan memiliki akun di bank tersebut. Saya pun ditawari aplikasi “green card” – kartu kredit yang memiliki slogan Don’t Leave Home without Them. Sebagai mahasiswa, tentu saja credit limit-nya standard, dan sudah mentok alias hampir tak bisa dinaikkan. Setidaknya untuk jenjang pendidikan yang saya tekuni saat itu. Namun, tetap saja kadang saya diperlakukan secara “istimewa” begitu mengeluarkan kartu kredit hijau tersebut. Teringat ketika menginap 3 hari di Hongkong dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Ketika selesai melakukan transaksi, seorang pramuniaga di daerah Sun Sin Sun secara spontan berkata: ”Wow, you must be rich, having this A*** card,” katanya dengan takjub. (Pada saat menceritakan bagian ini, Malinda sempat termehek-mehek dan berbisik: “Belum tau dia batas kreditnya.”) Meskipun saat itu tindakan kejahatan hipnotis di seputar ATM marak, saya tak pernah bermasalah dengan bank maupun dengan kartu kredit. Satu-satunya masalah “kecil” datang ketika saya memesan tas secara online sebagai hadiah wisuda untuk diri saya sendiri. Tas keluaran terbaru made in asli negara adi kuasa itu harganya cukup “wah” untuk ukuran mahasiswa kebayakan pada zaman itu. Tapi saya sudah kadung memesannya. Tas yang saya pesan dengan kartu hijauku itu tak jua tiba di apartemen. Awalnya saya berpikir mungkin ada kendala pengiriman. Namun ketika saya membaca laporan bulanan dari bank alangkah terkejutnya saya, karena dana sudah didebet sejumlah harga tas yang saya pesan. Saya segera menanyakan ke bagian customer service “tas” dan menanyakan dimana gerangan tersebut berada. Mereka memiliki bukti dari tanda terima digital, bahwa tas tersebut sudah diterima oleh seseorang yang berada di apartemen dimana saya berdomisili. Nama penerima jelas bukan nama saya, tapi tetangga depan apartemen saya. Setelah saya tanyakan baik-baik, ternyata tetangga saya itu sama sekali tak pernah mewakili saya dalam menerima pesanan tas. Singkat cerita, produsen tas akhirnya berniat mengirim ulang pesanan tersebut. Namun, saya memutuskan untuk di-refund saja. Prosesnya singkat dan tidak berbelit-belit dan diselesaikan melalui telpon. Print out dari bank di bulan berikutnya menunjukkan bahwa sejumlah dana sudah disetor sebagai penggantian pembelian tas yang batal. Peristiwa itu selalu mengingatkan saya pada percakapan “ringan” saya via telpon dengan pria dari bagian customer service. Sempat-sempatnya dia menanyakan “Are you an actress?” Spontan saja saya jawab dan bertanya balik: “No, why did you ask?” Dari seberang sana terdenger: “You have a nice, husky voice!” (Olala … ) Ada kejadian lain, tapi berkaitan dengan kartu debit. Ceritanya tas saya pernah digeledah seseorang di salah satu rumah ibadah. Peristiwanya hari Minggu usai kebaktian. Kebetulan saya adalah salah satu tenaga sukarela pengajar bahasa asing yang menjadi bagian dari kegiatan pelayanan di gereja tersebut. Muridnya berasal dari berbagai bangsa seperti China, Korea dan Vietnam. Setiap hari Minggu, di tempat ibadah itu diadakan kegiatan fellowship bagi international students dan komunitas pendatang yang biasanya dikuti dengan makan siang bersama. Usai acara, saya baru tau bahwa ada yang “mengerjai” tas saya. Kartu ATM (dan sedikit uang tunai) sudah raib dari dompet. Meskipun sedikit panik, hari itu juga, MINGGU, saya segera menelpon pihak bank, dan meminta mereka untuk memblokir kartu tersebut. Ternyata pencuri kartu debit saya itu bergerak lebih cepat. Pada hari SENIN, tercatat TIGA kali penarikan sebesar $ 100 (seratus USD). Suatu rekor pengambilan terbanyak dan terbesar yang ada dalam sejarah ‘perbankan’ saya saat itu. Saya kembali menghubungi pihak bank. Investigasi pun dilakukan. Saya malahan sempat ditelpon oleh seorang detektif yang menangani kasus ini. Singkat cerita, pihak bank mengganti dana yang sudah keburu ditarik maling. Ketika ditanyakan tanggapannya tentang sosok Malinda Dee dan diskusi di Kompasiana mengenai fungsi dan peranan kartu kredit, Malinda hanya tersenyum simpul. Waktu dipancing, tanpa merinci lebih lanjut, kalimat berikut inilah yang keluar dari bibirnya yang mungil: “Kartu bank berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah dan praktis, selama Anda paham atas hak dan kewajiban Anda sebagai pemegangnya." Catatan: Ditulis berdasarkan penuturan langsung dari Malinda (bukan nama sebenarnya). Tempat, tahun dan lokasi kejadian sengaja disamarkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline