Lihat ke Halaman Asli

Catatan Bengong

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1299159702503621615

[caption id="attachment_94125" align="aligncenter" width="680" caption="Nama dan fungsi bangunan ©Mamak Ketol™"][/caption] Tanggal 2 Maret yang lalu adalah ulbul Mamak Ketol yang ke-14 di Kompasiana. Hari itu dijadikan momentum bengong seharian. Membayangkan dirinya duduk-duduk, leyeh-leyeh sambil makan rujak cuka di Sanur, tepatnya di Balai Bengong yang merupakan bagian dari museum Le Mayeur. [caption id="attachment_94126" align="aligncenter" width="480" caption="Balai Bengong - Museum Le Mayeur ©Mamak Ketol™"]

12991602131731102711

[/caption] Museum itu dulunya adalah rumah pribadi pelukis asal Belgia itu. Pada tahun 1957 rumah beserta 80 koleksi lukisannya diserahkan ke pemerintah Indonesia. Di Balai Bengong inilah pelukis berdarah bangsawan itu biasa ber-bengong-ria, mencari inspirasi dan melukis. Tentu saja Ni Pollok, istrinya yang berdarah Bali itu yang acapkali menjadi modelnya. Kalau sang maestro lukis itu “bengong” untuk berkarya, Mamak Ketol melakukannya untuk bengong beneran. Bengong, karena secara kuantitas tulisan Mamak Ketol berkurang. Total jendral di bulan Februari hanya ada 3 tulisan. Angka terendah sebelumnya adalah 6 (Agustus 2010) dan tertinggi 14 tulisan (Mei 2010). Anggap saja menyesuaikan dengan jumlah hari di bulan Februari yang hanya 28? Hehehe … Bengong, ketika trend undur diri dari Kompasiana yang sudah mereda, tiba-tiba ada Kompasianer pamit karena kecewa. Menurut penuturannya, tulisannya di Kompasiana sudah diedit, disadur dan diterbitkan di tempat lain. Sementara itu ada Kompasianer lain yang mencoba berpikiran positif ketika tulisannya yang bertema agama dihapus setelah ada pemberitahuan dari Admin. Wah wah wah bengong lagi … seperti apa sih tulisan “agama” itu? (Salut dah sama Kompasianer tersebut.) Selain artikel “agama” ada Kompasianer yang puisinya dihapus karena judulnya kepanjangan dan “tidak bermanfaat bagi khalayak ramai”. Sepertinya keputusan pengelola tidak dapat diganggu-gugat. Begitupun dengan penjurian lomba. Lomba adalah lomba. Apakah ada syarat bahwa peserta lomba hanya berlaku pada Kompasianer yang belum pernah “plagiat tanpa izin”? Lagian, yang ditenggarai “plagiat” itu … apa mesti pake acara kulonuwun ya … Duh bengong lagi. [caption id="attachment_95060" align="aligncenter" width="652" caption="Tanda serunya raib"]

12995964051093536187

[/caption] Mamak sendiri sempat terbengong ketika judul tulisan “Keju pun Ada Museumnya!” akhirnya harus rela kehilangan tanda seru secara misterius. Kalau penggunaan huruf besar di judul memang sudah ada tatibnya. Tapi kalau penggunaan tanda seru? Yaaa … sudahlah. (Sukur-sukur ngga dihapus semua, Mak!) Bengong, karena sadar bahwa meskipun bukan “gelandangan”, Mamak Ketol ternyata masih numpang ngeblog di Kompasiana. Asiknya, kalau mau pesta ulbul tujuh hari tujuh malam pun ngga dilarang. Untungnya … Mamak ngga perlu sewa gedung, atau izin dari RT atau kepolisian. Andai saja Admin mau memakai tag “ultahketol”, pastinya Mamak senang sekali. Apa sebaiknya Mamak memakai tag “ultahketolkompasiana” ya … agar pengelola atau pembaca lain ikut merasa memiliki? Kan katanya “sharing-connecting”, hehehe … Bengong, karena ada yang “uring-uringan” melihat HL yang nangkring selama dua minggu. Kalau dulu orang-orang di “kampung” kurang “sreg” dengan puisi mantan kuli tinta, kini yang diributkan sepertinya bukan penulis tamunya tapi “ke-HL-an” puisi/prosanya. Seandainya HL yang nangkring lama tersebut adalah tulisan dari “orang dalam” kampung, apakah reaksinya akan sama? Mungkin sebaiknya Mamak simpan kebengongan Mamak. Adakah “orang Inggris” yang kebakaran jenggot karena HL English bisa ngedon sampai sebulan lamanya? Adakah protes dari kanal “muda”, karena tak ada HL satupun? Daripada bengong kayak amuba, mendingan kita mencoba untuk keluar kampung/desa/negara kita, agar bisa melihat dunia luar kampung/negara yang penuh warna. Biar kita bisa menghargai Kompasianer di kampung sebelah yang “mumpuni” menulis di luar “kepakarannya”. Mari kita tempatkan semangat “kampungisme” kita pada porsinya. [caption id="attachment_94127" align="aligncenter" width="400" caption="HL sejak bulan Mei 2010 - Screenshot dari Kompasiana"]

1299160578466856125

[/caption] Pernah melihat HL selama 9 bulan? Ya … inilah yang membuat Mamak Ketol bengong. Tapi kali ini mungkin ada kealpaan menghapus “page” extra oleh pihak pengelola. Tulisan Ria Tumimomor yang terbit tanggal 3 Mei 2010 masih menjadi HL hingga kini. Lihat saja di link kanal Ekstra (lihat lingkaran merah di sebelah “Kirim Tulisan”). Dan tulisan Mamak Ketol dengan judul From Barclona to Bibir then Cinta pun masih masuk dalam daftar tulisan terbaru. [caption id="attachment_94129" align="aligncenter" width="640" caption="Letak Kanal EKSTRA di Kompasiana Lama - Screenshot dari Kompasiana"]

12991610371321652859

[/caption] "Penemuan" ini tertangkap mata secara kebetulan. Ketika mengalami kesulitan login dan sempat mendapat notifikasi “email atau password salah” di awal bulan Maret, tiba-tiba saja mata Mamak Ketol tertumbuk pada tulisan "Ekstra". Secara iseng Mamak Ketol mengklik kanal yang sesungguhnya sudah almarhum itu. Kalau bulan lalu Mamak sempat termehek-mehek dan sekarang jadi bengong, sebagai penutup, Mamak mau senyum simpul aja, mengingat jasmerah, agar sejarah (buram) tak terulang lagi. Hari Bersih dan Hari Fiksi adalah suatu gerakan yang positif, pada HARI H-nya. Bagaimana kalau kita galakkan Hari Bengong 24/7? Dan menilai tulisan Mamak ini dengan “terbengong”? Bersatu kita ngakak, merating kita kompak! (Mak! Mak! Kok pake ngajarin merating segala?)



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline