Lihat ke Halaman Asli

Solus4: Solusi Tsunami di Bali?

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

History repeats itself, first as tragedy, second as farce (Karl Marx). Tsunami di Banda Aceh menelan korban meninggal dan hilang sejumlah 226,000. Sejak itu aktivitas gempa - baik yang berpotensi tsunami atau tidak - meningkat. Salah satu tsunami yang baru-baru ini terjadi (25/10) melanda Kepulauan Mentawai. Seperti yang diberitakan Antara, sistem peringatan dini tsunami buatan Jerman sudah dipasang di Mentawai paska tsunami Aceh. Namun, teknologi tidak berfungsi dan sejarah tsunami terulang tanpa mengirim sirene terlebih dahulu. [caption id="attachment_316495" align="aligncenter" width="500" caption="Marine Research Center, Kuta ©Solus4"][/caption]

Sumber foto: Solus4

Salah satu upaya ilmu dan teknologi terkini untuk mendeteksi tsunami adalah rencana Solus4 untuk membangun pusat penelitian tsunami di Bali. Apa itu Solus4? Dan mengapa Bali? Sebelum membahas lebih rinci mengenai laboratorium ini, kita simak peranan Bali dalam mengantisipasi tsunami, yuk! Waspada Tsunami: Panas-Panas Tahi Ayam? Berita tsunami yang melanda Tanah Rencong pada tahun 2004 bergema hingga mancanegara. Tak hanya Indonesia, India, Thailand dan Sri Lanka juga mengalami tsunami pada saat yang hampir bersamaan. Di Indonesia, Aceh bukanlah satu-satunya daerah yang rentan akan tsunami. Secara sederhana tsunami adalah gempa bumi yang terjadi di dasar laut. Sesungguhnya, pencetus tsunami ada tiga: meteor, tanah longsor dan gempa bumi dahsyat. Umumnya sumber tsunami yang terjadi di Indonesia adalah gempa bumi. Hampir setiap kawasan pantai berpotensi tsunami, termasuk Bali. Di kawasan pantai di Indonesia barat dan Indonesia timur, tersebar sekitar 212 titik rawan gempa dan tsunami. Pemerintah bergiat memasyarakatkan tsunami dengan pengetahuan dan informasi. Upaya ini dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat agar tetap waspada dan siaga apabila bencana tsunami datang. Salah satunya muncul dalam bentuk simulasi yang dilakukan di pantai Sanur, Bali pada tahun 2006. Kegiatan yang berlangsung pada tanggal 23 dan 26 Desember itu diikuti oleh ribuan masyarakat, termasuk pelajar. Selain simulasi, PemKot Denpasar memasang 10 baliho berukuran 2 m x 1 m dengan tinggi 2. 75 m di beberapa tempat. Seluruh baliho yang memakan biaya 12 juta rupiah itu memuat informasi mengenai langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan apabila tsunami datang. Tak hanya wilayah pesisir pantai saja, tapi tempat-tempat umum sekitar Denpasar pun baliho terpancang. Baliho dalam ukuran kecil diedarkan dalam bentuk pamplet. Sebanyak 5000 selebaran sudah disebarkan di sekolah, stasiun radio dan televisi. Selain itu didirikan semacam posko informasi tentang seluk-beluk bencana. Setiap hari ada petugas yang berjaga dalam tiap posko. Sejumlah 12 petugas yang merupakan pegawai PemKot Denpasar sudah dipersiapkan dalam 3 shift. Untuk memudahkan koordinasi, dibentuklah PokGas (Kelompok Tugas) yang dikoordinir oleh Kodim 1611 Badung. Tiap-tiap PokGas memiliki tanggung jawab sesuai dengan bidangnya, seperti PokGas kesehatan, PokGas Dinas Pekerjaan Umum dan PokGas Dinas Sosial. Suatu program dengan perencanaan dan koordinasi yang baik, bukan? Kegiatan simulasi di Bali diikuti dengan pertemuan-pertemuan yang membahas tentang cara-cara menanggulangi tsunami yang digelar secara bersamaan di seluruh Indonesia. Sesungguhnya kegiatan di Bali ini bukan pertama kalinya dilakukan. Sebelumnya pada tahun 2005, ada kegiatan serupa yang dilakukan di Padang. Tidak diperoleh informasi apakah ada pelatihan sejenis yang dilakukan di Kepulauan Mentawai atau di tempat lain secara nasional setelah tahun 2006. Yang pasti ada pemasangan sistem peringatan dini di Mentawai yang menurut Hari Nugroho tidak banyak membantu. [caption id="attachment_316497" align="aligncenter" width="480" caption="Waspada Tsunami - Lovina, Bali ©Mamak Ketol™"][/caption] Lain di Sanur, lain pula di Lovina. Meskipun tidak dapat dipastikan apakah simulasi penanggulangan tsunami juga dilakukan di pesisir pantai Lovina, baliho “Waspada Tsunami” ini terpancang gagah di salah satu sisi jalan di kawasan itu. Bagaimana dengan pantai Kuta? Pusat Penelitian Tsunami di Kuta Pada tanggal 16 Maret kemarin, Arquitectum, bekerja sama dengan Universitas Pelita Harapan, menggelar kompetisi arsitektur dengan tema "Bali 2010". Lomba bertaraf internasional ini menitik beratkan desain Marine Research Center. Sesuai dengan temanya, lokasi yang ditentukan adalah Bali – daerah wisata yang indah dan sudah mendunia, bukan di daerah dimana tsunami terjadi. Tanggal 2 Agustus pemenang diumumkan, dan pameran arsitektur berkaitan dengan perencanaan pembangunan sudah dilaksanakan pada bulan September. Adalah Solus4 - sebuah perusahaan desain arsitektur - yang terpilih menjadi pemenang, dan akan merealisasikan rancangannya. Selain sebagai pusat penelitian tsunami, tujuan pembangunan laboratorium terapung ini adalah untuk mengantisipasi bencana tsunami dan mempersiapkan strategi tanggap darurat. Peneliti akan mempelajari dinamika gelombang laut dan menginterpretasi struktur dan pola tsunami. “Submarine” ini terdiri dari tiga bagian yakni: publik, semi-publik dan privat. Pusat penelitian seluas 2500 m2 ini nantinya akan mengapung kira-kira 150 meter dari tepi pantai Kuta. Di dalamnya terdapat laboratorium bawah air, kamar tidur ilmuwan, taman air, kolam renang dengan air laut, bar, auditorium, dan perpustakaan yang masing-masing akan ditempatkan di atas dan di bawah permukaan air laut. Proyek yang dirancang hemat energi dan ramah lingkungan ini terbuat dari kaca serat dengan faktor refleksi tinggi yang tembus pandang dan berwarna biru muda yang menyatu dengan samudra luas. Laboratorium ini bisa menampung air hujan yang dapat dipergunakan untuk keperluan minum, dan konversi air laut yang berfungsi sebagai pendingin dan pengatur suhu. Ada generator yang digerakkan ombak untuk memenuhi kebutuhan listrik di lokasi. Pusat penelitian tsunami ini diharapkan menjadi model bangunan moderen dengan desain lingkungan yang berkelanjutan sekaligus objek wisata. Wow! Sungguh menakjubkan, bukan? Diskusi: History Repeats Itself? Seperti yang telah disebutkan di awal tulisan ini, setelah tsunami Aceh, pihak Jerman membangun sistem peringatan dini tsunami di Mentawai. Namun, keenam pelampung seharga 62,2 juta dolar AS (Rp. 553 miliar) itu tidak berfungsi. Tsunami datang dan menewaskan ratusan jiwa. Penduduk setempat menilai alat mahal itu diletakkan di titik yang “salah”. Sementara pihak teknisi Jerman menyayangkan tindakan Indonesia yang tidak memasang pelampung sesuai dengan manual mereka. Seharusnya kabel-kabel ditanam dalam tanah, bukan direntangkan di antara pepohonan kelapa. Selain kesalahan prosedur, alat peringatan itu sepertinya ditelantarkan. Ada pelampung rusak karena ganggang laut, dan ada pula yang hancur tertabrak kapal nelayan. Sebab lain yang sangat memprihatinkan adalah dipretelinya pelampung itu untuk dijual. [caption id="attachment_316509" align="alignright" width="300" caption="Pelampung tsunami - Mentawai: Bisa dipreteli loh :( ©Der Spiegel"][/caption] Setelah tsunami Aceh, Padang dan Bali mengelar kegiatan “waspada tsunami”. Memang ada beberapa gempa bumi “tidak berpotensi tsunami” yang diberitakan di media cetak dan elektronik. “Gempa minor” ini sepertinya hanya lewat sekilas dalam pemberitaannya. Gempa kecil yang tidak memakan korban ini tidak diartikan sebagai peringatan dini alami. Tsunami Mentawai yang “kecil” pun seolah-olah “kalah pamor” dengan letusan Merapi. Letusan gunung memang bukan pencetus tsunami, tapi tanah longsor atau mungkin longsoran gunung meletus dapat berpotensi tsunami? Entahlah. Bagaimana dengan meteor sebagai salah satu gejala tsunami? Bukankah pernah ada berita meteor jatuh di beberapa tempat di Indonesia? Sumber foto pelampung: Der Spiegel, Antara. Mencari kambing hitam tampaknya tidaklah sesulit memecahkan masalah. Ketika kambing hitam ditemukan, bermacam-macam kritik - dengan atau tanpa solusi pun - dilontarkan, dari yang “asal bunyi”, “kedengaran”, hingga yang “vocal”. Sekeras atau sesempurna apapun suatu kritik dan solusi, apabila tidak didengar atau dilaksanakan oleh orang yang berkepentingan di lapangan, dan apabila tidak diterapkan sesuai dengan prosedur, hanya akan menjadi sejarah kelam yang bersifat pengetahuan atau teori yang gagal. Di sisi lain, sepertinya tak ada bencana alam yang terulang sama persis seperti sebelumnya. Namun, sejarah "kealpaan" menanggulangi sedini mungkin sepertinya mesti berulang. Bagaimana dengan proyek Solus4? Apakah kita akan melarang atau menghentikan pembangunannya? Bagaimana nasib simulasi siaga bencana? Perlukah pelatihan Waspada Tsunami lebih digiatkan secara lebih intensif dan menyeluruh ke pelosok negeri? Referensi: Siaga Bencana, PPLH Bali, Architectural Competitions, Architects Journal, dan Mentawai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline