Lihat ke Halaman Asli

Mika: Grace Kelly

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Namaku Mika. Aku lahir di Beirut. Aku anak ke lima dari lima bersaudara. Semuanya laki-laki. Ibuku asli Lebanon. Ayahku milyuner asli Indonesia. Konon, ayahku masih keturunan raja Bali dari pihak nenek. Seumur-umur aku cuma sekali menginjakkan kaki di Bali. Dari Beirut, ketika usiaku sembilan, orangtuaku hijrah ke Inggris. Di London aku dimasukkan ke sekolah umum. Di sanalah aku pertama kali di-bully sama teman-teman sekelasku. Bulu mataku yang lentik, dan warna mataku yang perpaduan antara hijau dan coklat dianggap terlalu “feminin” untuk seorang anak laki-laki. Aku heran, kenapa karakteristik seperti ini dijadikan patokan untuk menentukan gender. Aku juga tidak tau apakah "kefemininanku" terkondisikan karena ibuku yang sedikit terobsesi menginginkan anak perempuan. [caption id="attachment_257134" align="aligncenter" width="480" caption=""I've never ever labeled myself. But having said that; I've never limited my life, I've never limited who I sleep with... Call me whatever you want. Call me bisexual, if you need a term for me..."(Wawancara dalam acara "Gay & Night")"][/caption]

Sumber foto: Fanpop Sumber teks: Wikipedia Tak hanya teman sekelas yang mem-bully-ku. Guru-guruku juga. Tubuhku cukup bongsor untuk anak seumurku. Dengan kulit yang merah kecoklatan, rambut yang ikal panjang sebahu, secara keseluruhan aku tampak mencolok dan “aneh”. Agar tidak mengganggu “pemandangan dan penglihatan” teman-teman sekelas, aku ditempatkan di pojok belakang kelas. Padahal aku ingin sekali duduk di depan, di samping Monika. Gadis kecil yang imut berkulit "putih" itu. Sungguh aku benci dengan warna kulitku. Aku selalu merasa inferior dengan penampilan fisikku. Anehnya aku membenci sekaligus iri pada lelaki berkulit "putih", karena menurutku mereka jauh lebih beruntung dan menarik. Di sekolah, aku berteman baik dengan Hilal. Tempat duduknya persis di depanku. Kami senasib, dalam arti sama-sama korban bully. Yang parahnya adalah Hilal sering diteriaki “Paki”. Hilal yang masih keturunan Pakistan ini adalah keponakan dari salah satu menteri di Pakistan pada saat itu. Untuk menghindari bully yang lebih parah lagi, orangtuaku memutuskan homeschooling untukku. Untuk sementara aku terbebas dari tindakan diskriminasi itu, hingga aku masuk sekolah musik. Berbeda dengan keempat saudara lelakiku yang memilih berkiprah di perusahaan ritel milik keluarga, aku memutuskan musik sebagai “periuk-nasi” ku. Sesungguhnya ayah sangat menentang keputusanku. Namun, ibu selalu berada dibelakangku. Ibu yang penuh perhatian. Ibu yang menjadi tempat curhatku. Ibu mengaku pernah mendandani aku dengan baju perempuan ketika aku kecil. Ibu yang bisa lembut tapi bisa juga keras dan tegas. Ibu yang mendominasi ayah. Meskipun ayahku pun kadang tak kalah kerasnya. Aaah … aku ingin punya kekasih seperti ibu. Perlahan tapi pasti, aku menjadi salah satu seleb yang eksis di dunia musik. Bagiku ini adalah pencapaian dan kebanggaan yang luar biasa. Lepas dari bayang-bayang nama besar keluarga menjadi sangat penting bagiku. Lepas dari kemudahan-kemudahan yang kudapatkan dari perusahaan keluarga. Sedikit demi sedikit rasa percaya diriku muncul, dan aku tidak se-nervous sebelumnya apabila aku manggung. Monika, ya ... itu karena bantuan Monika. Pengalaman buruk dan diskriminatif di sekolah itu masih membekas hingga kini. Meskipun dulu ibu sempat membawaku ke psikiater, aku selalu teringat akan tindakan bully yang dilakukan terhadapku di sekolah. Aku sudah berusaha keras untuk melupakannya. Namun, peristiwa buruk itu kerapkali muncul apabila aku membaca email di milis alumni sekolah atau FB alumi sekolah, meskipun aku tak pernah menamatkan sekolahku di sana. Kalau bukan karena Monika yang mengundangku, aku mungkin tak akan pernah mau ikut bergabung. Tapi tentu saja ada segi positifnya aku bergabung dalam jejaring sosial itu. Aku menemukan kembali mantan teman-teman sekolahku itu, termasuk Monika dan Hilal. Monika, cintaku yang sempat hilang, kutemukan kembali. Namun, kini Monika sudah menikah dengan Hilal dan menetap di Konstanz, Jerman. Dunia memang terasa semakin kecil. Sepupu jauhku yang "asli" Bali menikah dengan orang Jerman dan tinggal di Konstanz. Singkat cerita, reuni kecil-kecilan itu pun kami tentukan, di satu penghujung tahun. Aku dan Janette pasanganku saat itu, Hilal dan Monika. Reuni sekaligus merayakan ulang tahun Monika pada tanggal 1 Januari. Sumber: MIKAVEVO - You Tube. I try to be like Grace Kelly But all her looks were too sad So I tried a little Freddie I've gone identity mad! I could be brown, I could be blue I could be violet sky I could be hurtful, I could be purple I could be anything you like Double date itu berbuntut panjang. Aku ingat peristiwa di malam tahun baru. Mungkin karena sudah kebanyakan bermain games dan “kekenyangan” eggnog, kami menemukan diri kami berasyik-masuk dan bertukar pasangan. Swinger yang tidak direncanakan ini menjadi awal kegiatan rutin yang kami jadwalkan. Kadang di Inggris, kadang di Jerman. Belakangan hanya aku dan Monika yang “reuni”, tentu saja tanpa sepengetahuan Hilal dan Janette. Sampai akhirnya aku berhasil memboyong Monika untuk hidup serumah denganku. Pernikahan Monika dan Hilal bubar - begitu juga partnership-ku dengan Janette. Aku masih sering berhubungan dengan Hilal setelah perceraiannya dengan Monika. Hubungan kami bertiga masih terjalin, tapi tidak dengan Janette. Ternyata Hilal diam-diam menyukai aku. Aku pun mulai menyukai dan menikmati kebersamaanku dengan Hilal. Kami sempat merahasiakan hubungan kami ini dari Monika, tapi … Monika mengendusnya dari infotainment. Monika mendampratku habis-habisan. Dia pergi meninggalkanku dan "menelantarkan" dua putri kami yang cantik. --- Bersambung …  klo ingat ;) Catatan: Fiksi ini terinspirasi dari lagu Grace Kelly dan sosok Mika, tanpa bermaksud untuk mendeskreditkan kehidupan Mika sebagai penyanyi. Sesungguhnya Mika dilahirkan di Beirut dari ibu berkebangsaan Lebanon dan ayah asal Amerika (bukan Bali/Indonesia seperti dalam fiksi ini). Mika adalah anak ketiga dari lima bersaudara (bukan anak ke lima dari lima bersaudara.) Sebagai anak tengah, Mika memiliki tiga saudara perempuan dan satu adik laki-laki. Adalah benar bahwa pada umur 9 tahun Mika diboyong keluarganya ke London dan sempat mengalami bully di sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline