Lihat ke Halaman Asli

Fwd: Surel Japri ke Jarum, Melanggar Privasi?

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_76783" align="alignright" width="300" caption="Jalur Pribadi Vs. Jalur Umum ©Mamak Ketol™"][/caption] Ketika melansir Topik Pilihan terkini dengan tag “tolakRPMkonten", Kompasiana menyatakan bahwa: “Kelak bakal dibentuk lembaga yang mengawasi dan melaporkan setiap konten yang masuk ke situs atau blog, sedangkan pihak penyelenggara media online tidak berhak lagi menyantumkan tanggung jawab ada pada pengguna internet.” Meskipun tag yang dipakai adalah TOLAK, Kompasiana menerima masukan dari yang setuju: “Setujukah Anda para Kompasianer jika RPM Konten Media yang menjurus represif dan membatasi kebebasan berpendapat itu ditolak? Atau Anda setuju jika RPM itu disahkan menjadi peraturan menteri karena menganggap tidak ada bahayanya?” Salah satu “penolakan” datang dari Edi Santana Sembiring. Dalam tulisannya, Sembiring menulis: “RPM Konten Multimedia memuat lima pasal khusus soal larangan yaitu antara lain konten pornografi, konten yang melanggar kesusilaan, informasi perjudian, merendahkan pihak lain, berita bohong, kebencian, SARA, pemerasan, kekerasan, dan privasi orang lain.” Tulisan ini khusus membahas masalah “privasi orang lain” (Bab II Konten Yang Dilarang Pasal 7 a dan 7 b RPM), serta hubungannya dengan “wacana” (kesimpulan?) dari sekelompok Inisiator yang ber-kopdar-ria di TIM 13 Februari yang lalu. Dalam tulisannya yang bertajuk Kopdar II Inisiatif Kompasianer di TIM-Cikini, Jakarta, (khususnya poin no 3), Lintang melaporkan kesepakatan peserta KopDar II tentang “memforward email untuk ajakan kebaikan”. Lintang juga menjabarkan bahwa ada "kesepakatan": “Setelah diskusi cukup hangat karena setiap kepala memiliki pemikiran sendiri, akhirnya disepakati untuk menulis sumber secara lengkap baik alamat situs maupun alamat email yang kita ketahui saja” (kata “disepakati” dicetak tebal oleh Mamak Ketol). Pertanyaannya adalah: Apakah atas nama “ajakan kebaikan” suatu surel (surat elektronik) yang dikirim via japri (jalur pribadi) berikut alamatnya boleh dipublikasikan di jarum (jalur umum)? Apakah tindakan ini termasuk pelanggaran privasi? Privasi, Apaan Tuh? Orang yang suka heboh dengan privasi sering dikaitkan dengan “kebarat-barat-an”. Sesuatu yang masuk ranah privasi bagi si A, belum tentu pelanggaran bagi si B. Sekedar menyebutkan atau mengumumkan ukuran CD atau lingkar dada atau pinggang seseorang mungkin lucu atau membanggakan untuk seseorang, tapi mungkin menyakitkan bagi yang lain. Dalam budaya tertentu, menanyakan agama atau kepercayaan seseorang dapat dianggap mengusik ranah pribadi. Karena kita berbicara mengenai privasi di media online, untuk "menyamakan" persepsi, ada baiknya saya cuplik definisi Wikipedia:

Internet privacy is the ability to control what information one reveals about oneself over the Internet, and to control who can access that information. These concerns include whether email can be stored or read by third parties without consent, or whether third parties can track the web sites someone has visited. Another concern is whether web sites which are visited collect, store, and possibly share personally identifiable information about users. Tools used to protect privacy on the internet include encryption tools and anonymizing services like I2P and tor.

Yang akan saya garis bawahi adalah frasa yang berbunyi whether email can be stored or read by third parties without consent. Jangankan dibaca (read), disimpan (stored) aja bisa dianggap melanggar. Bagaimana dengan “kesepakatan” Tim KopDar Kompasianer II kemarin tentang pencantuman isi surel beserta alamatnya? Di tolak atau …? Tak dapat dipungkiri, bahwa email, dalam batas-batas tertentu, dapat dipergunakan sebagai referensi. Secara sederhana, selama kita mencantumkan sumber email, selama itu kita “aman” dari tudingan “plagiarisme”. Persoalan intinya adalah apakah termasuk pelanggaran privasi? Menurut hemat saya hal ini tergantung dari dimana email itu pertama (asalnya) beredar dan apakah si pengirim (asli) email tidak berkeberatan apabila email nya di-forward “kemana-mana.” Saya yakin Kompasianer tentu banyak yang berpengalaman dalam ber-milis. Entah itu milis alumni ini-itu; milis hobby; milis keagamaan dlsb. Mungkin juga ada di antara teman-teman Kompasianer yang berperan sebagai owner atau moderator suatu komunitas online. Tentunya ada juga Kompasianer yang aktif ber-forum di dunia maya seperti Forum Pembaca Kompas, atau sekedar menjadi member instan yang ingin mencari jawab mengenai suatu hal seperti Yahoo Answers atau Tanya Saja. Tak jarang hasil konsultasi di tempat-tempat umum ini dapat menjadi acuan second opinion yang perlu dipertimbangkan, baik untuk konsumsi pribadi, untuk komunitas tertentu atau untuk di-share di tempat lain yang lebih luas lagi. Public vs Private Domain [caption id="attachment_76781" align="aligncenter" width="500" caption="Yahoo groups directory global warming di-screenshot oleh Mamak Ketol"][/caption] Milis-milis seperti yahoo group ada yang sifatnya “tertutup” (private). Tertutup dalam artian arsip email hanya bisa dibaca dan dikomentari oleh anggota. Istilahnya membership required. Ada juga grup yang lebih khusus lagi, yakni untuk moderator (moderators only). Pastinya milis ini tidak bisa dibaca dan dibahas oleh siapapun kecuali moderator. Selain tertutup, tentu ada yang modelnya terbuka (public) yang ditandai dengan link dengan kata public yang dapat di klik langsung. Arsip email milis seperti ini dapat dibaca oleh siapa saja. Akan tetapi hanya bisa di-post dan di-reply oleh anggota. Tak jarang ada milis yang berafiliasi dengan forum atau grup blog tertentu, misalnya Koran Apa Kabar dan Forum Apa Kabar. Dua-dua nya bisa diakses oleh publik, dan dengan sendirinya sah-sah saja untuk dikutip, ditautkan, diteruskan (di-forward) dengan mencantumkan sumber atau URL nya. Kecuali ada disclaimer tertentu yang wajib dicermati. Salah kaprah yang kerap terjadi adalah mantra bahwa apa yang ada di internet adalah milik publik. Sepertinya kita perlu memilah-milah mana yang “publik untuk semua” dan “publik untuk kalangan terbatas”. Kalau Kompasianer punya akun di FB mungkin ada yang setting-annya publik dan ada yang khusus untuk orang-orang tertentu. Bagaimana perasaan Anda apabila foto atau tulisan yang Anda share untuk orang-orang tertentu tiba-tiba muncul di milis “orang gemuk” atau, tanpa sepengetahuan Anda, diikut-sertakan dalam ajang pemilihan “lingkar pinggang paling lebar” sedunia, misalnya, atas nama “kebaikan”? Bagaimana dengan surel yang dikirim via japri? Apakah serta-merta kita, saya ulangi “atas nama ajakan kebaikan”, dapat mempublikasikannya ke jarum tanpa sepengetahuan atau izin dari si penulis email yang sebenarnya? Kalau Rencana PerMen tersebut disahkan, dan seperti dikutip diawal tulisan ini, Kompasiana sebagai media online “tidak berhak lagi menyantumkan tanggung jawab ada pada pengguna internet.” Kalau pemahaman saya benar, hal ini dapat diartikan bahwa KELAK seluruh postingan Kompasianer menjadi tanggung jawab Kompasiana sepenuhnya? (Sementara si pengguna internet mungkin dijerat lewat pasal UU ITE?) Ditilik dari pernyataan ini dan dikaitkan dengan privasi email seseorang, apakah “kita”, sebagai Kompasianer, sebaiknya mendukung Pasal 7 RPM dan Tim Kopdar II, khususnya mengenai surel? Karena … toh penanggung-jawabnya adalah media online tsb (bukan pengguna internet)? Heheh … berapa puluh Admin Kompasiana yang harus online 24 jam agar supaya Rumah Sehat ini tetap eksis? Referensi: RPM Konten Media, How To Forward Emails, Email Netiquette.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline